Pelanggaran TSM Dalam Konstruksi UU Pilkada | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Pelanggaran TSM Dalam Konstruksi UU Pilkada

Selasa, 31 Desember 2024

 


Pelanggaran TSM Dalam Konstruksi UU Pilkada

 

Alimmustofa.com – Pemilihan Kepala Daerah Serentak Tahun 2024 memasuki masa gugatan sengketa hasil di Mahmakah Konstitusi(MK). Proses Pendafatran permohonan sengketa hasil sebagaimana ditentukan didalam pasal 157 ayat (5) “ Peserta Pemilihan mengajukan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) paling lambat 3 (tiga) hari kerja terhitung sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil Pemilihan oleh KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota”.

 

Dapat dipahami bahwa Para pihak yang mempunyai kedudukan hukum (legal standing) punya waktu 3 (tiga) hari kerja sejak Keputusan ditetapkan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi/Kabupaen/kota. Penjelasan hari kerja adalah selain hari sabtu/minggu/hari libur di jam kerja kantor kecuali hari terakhir masa tenggat pendaftaran sampai jam 23.59 wib.

 

Dalam pokok permohonan sengketa oleh pasangan calon atau pemantau pemilihan bagi calon pasangan calon tunggal, biasanya akan meminta pembatalan Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi,Kabupaten/Kota tentang penetapan penghitungan perolehan suara pemilihan.

 

Argumentasi hukumnya salah satunya adalah pelanggaran administrasi Terstruktur, Sistematis,dan Masif (TSM),dengan sanksi  administrasi yaitu pembatalan calon. Ketentuan ini sebagaimana disebut dalam pasal 73 ayat (1) UU 1 Tahun 2015 berbunyi “ Calon dan/atau tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilih”.

 

Selanjunya ditegaskan diayat (2) Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

 

Sanksi atas pelanggaran TSM tersebut tertuang di Pasal 135A (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 perubahan kedua atas Undang-Undang Nomor1 tahun 2015 ”Pelanggaran administrasi Pemilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (2) merupakan pelanggaran yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan massif”.

 

Lalu Bagaimana Pengertian Secara Operasional Tentang  Pelanggaran Administrasi TSM?

 

Dalam pasal penjelasan Pasal 135A Ayat (1) Yang dimaksud dengan “terstruktur” adalah kecurangan yang dilakukan oleh aparat struktural, baik aparat pemerintah maupun penyelenggara Pemilihan secara kolektif atau secara bersama-sama.

 

Dapat dijelaskan bahwa terstruktur dalam pelanggaran ini adalah adanya pelibatan penyelenggara pemilihan mulai dari Komisi PemilihanUmum Kab/Kota sampai dengan pelibatan Panitia Pemungutann Suara (PPS) desa/kelurahan atau bahkan sampai pada level KPPS di TPS,dalam konteks pemilihan Bupati/Walikota.

 

Tentunya pelibatan diatas harus dibuktikan dengan data dukung seperti adanya perintah bisa berupa pesan elektronik, rekaman suara, video atau pesan berantai dari KPU komisioner/ sekretariatan kepada perangkat KPU kebawah.

 

Istrumen terstruktur juga adanya pelibatan unsur pemerintah daerah disemua tingkatan, bahkan sampai pada tingkatan Rukun Warga (RW).

 

Yang dimaksud dengan “sistematis” adalah pelanggaran yang direncanakan secara matang, tersusun, bahkan sangat rapi. Yaitu adanya perencanaan yang dilakukan oleh pasangan calon melibatkan unsur penyelenggara atau pelibatan unsur pemerintah atau unsur alat negara, tentang bagaimana pola perencanaan politik uang (bisa dalam bentuk uang/barang/janji) yang hal tersebut dilarang dalam undang-undang.

 

Terakhir adalah pelanggaran secara Masif, yang dimaksud dengan “masif” adalah dampak pelanggaran yang sangat luas pengaruhnya terhadap hasil Pemilihan bukan hanya sebagian-sebagian.

 

Pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam ketentuan pasal 73 (1) terjadi dihampir 50 persen  lebih wilayah kabupaten/kota. Dapat digambarkan jika suatu kabupaten/kota memiliki 20 kecamatan, maka penyebaran pelanggaran politik uang terjadi dilebih dari 10 kecamatan atau lebih dari 50 persen jumlah desa/kelurahan.

 

Dampak yang ditimbulkan sangat besar terhadap hasil perolehan suara se-Kabupaten/Kota yang kemudian merugikan pasangan  calon, atau dengan kata lain mempengaruhi hasil perolehan suara calon lain.

Sebagai catatan bahwa pelanggaran administrasi terstruktur,sistematis dan massif merupakan wewenang Bawaslu untuk menerima,memeriksa dan memutus atas pelanggaran administrasi TSM. Penegasan atas kewenangan Bawaslu tertuang dalam pasal 135A ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016(*)(*)

 

Editor : Alim Mustofa