The Brutal Democracy
Alimmustofa.com - Brutal democracy, perhaps this is the right word to describe the situation of the 2024 regional elections, especially in Malang City.
Incident after incident continues without any effort to stop it from various parties. Hate speech, propocative narratives, divide and conquer, and black campaigns seem to find a free stage in the public without paying attention to the negative impact on Malang's public.
Acts of thuggery in the democratic party, became commonplace with the destruction of campaign props from one candidate pair, while the campaign props (APK) of other candidates seemed untouched.
Bawaslu, KPU, the Government, the Police are all silent as if legitimising these brutal actions. Thuggery in a democratic party becomes a legal part in the context of power struggle at the city level, this is characterised by no attempt to stop it from the security forces, the city government or the election organiser.
Efforts to use authority at the city government level appear vulgar, where it was found that the 6th grade elementary school companion book used BOSDA funds for campaign facilities in the context of introducing itself from the PJ Mayor who is now a mayoral candidate in the public through elementary school textbooks.
The action of installing banners with a recidivist narrative aimed at one of the candidate pairs is an extraordinary barbarity. The use of the word ‘Recidivist’ is a misdirection of the true meaning, this is very inappropriate for Malang City which is known as the city of Malang.
Even worse, not a single academic condemned the above events, either not caring or being afraid, or perhaps being part of the scenario of destroying democracy in the simultaneous Pilkada in Malang City.
Money politics became a prevalence that then made Bawalsu look like a daze seeing money being scattered from the stage of the people's party attended by Malang political figures with propaganda narratives in their campaigns. Even the people's party in Wonokoyo sub-district, Kedungkandang sub-district, was also attended by one of the heads of a political party, as if to emphasise that spreading money from the stage during the campaign stage was not a violation because all the figures present were supporters and supporters of one of the candidate pairs.
Data collection of ID cards of prospective voters in exchange for basic necessities and hundreds of thousands of money is commonplace without any appeal from the supervisor, back again whether they do not know or pretend not to know because there is no report.
The cheap redemption of basic necessities is a natural thing and is considered commonplace by election organisers, Bawaslu's reprimand becomes funny under the pretext that there is no legislation prohibiting it.
It is suspected that bureaucrats were mobilised to win one pair of mayoral candidates with their programmes.
This is not typical of Arek Malang, Arek Malang is against the politicisation of SARA, Arek Malang rejects hate speech, Arek Malang will not damage its own city with the above things.
The political potential is already very vulgar on the day of voting (27 Nov 24), Structured - Systematic - Massive (TSM) violations are already visible, I am afraid APH is also part of the Brutal Democracy of the Election of Mayor and Deputy Mayor of Malang which is only a few days away.(*)
Editor : Alim Mustofa
Terjemahan ................
Alimmustofa.com – Demokrasi yang brutal,
mungkin ini yang kata yang tepat untuk menggambarkan situasi pilkada 2024,
khususnya di Kota Malang.
Kejadian demi kejadian terus berlangsung tanpa
ada upaya penghentian dari berbagai pihak. Ujaran kebencian, narasi propokatif,
adu domba, black campaign seolah
menemukan panggung yang bebas di public tanpa memperhatikan dampak negative bagi public
Malang.
Aksi premanisme dalam helatan pesta demokrasi,
menjadi kelaziman dengan perusakan -perusakan alat peraga kampanye dari salah
satu pasangan calon, sementara alat peraga kampanye (APK) paslon lain seolah
tidak tersentuh.
Bawaslu, KPU, Pemerintah, Kepolisian semua diam
seolah melegitimasi tindakan brutal tersebut. Aksi premanisme dalam pesta demokrasi
menjadi bagian yang legal dalam konteks perebutan kekuasaan dilevel kota, hal ini
dicirikan dengan tidak ada upaya penghentian dari aparat keamanan, pemerintah
kota maupun penyelenggara pemilihan.
Upaya penggunaan kewenangan dilevel pemerintah
kota nampak vulgar, dimana ditemukan buku Pendamping SD kelas 6 menggunakan
dana BOSDA untuk sarana kampanye dalam konteks memperkanalkan diri dari PJ
Walikota yang sekarang menjadi calon walikota di publik melalui buku ajar sekolah
dasar (SD).
Aksi pemasangan spanduk dengan narasi residivis
yang ditujukan kepada salah satu pasangan calon merupakan kebiadaban yang luar
biasa. Penggunaan kata “Residivis” merupakan penyesatan makna yang sebenarnya,
ini sangat tidak pantas untuk Kota Malang yang dikenal dengan sebutan kota Pendidikan.
Lebih parah lagi, tidak seorang akademisipun
mengutuk peristiwa diatas, antara gak peduli atau takut, atau mungkin menjadi
bagian dari skenario perusakan demokrasi di Pilkada serentak di Kota Malang
ini.
Politik uang menjadi kelaziman yang kemudian menjadikan Bawalsu seperti linglung melihat uang dihamburkan dari panggung pesta rakyat yang di hadiri tokoh politik Malang dengan narasi propaganda dalam kampanyenya. Bahkan pesta rakyat di kelurahan Wonokoyo kecamatan Kedungkandang juga dihadiri salah satu Ketua Umum Partai Politik seolah mempertegas bahwa menebarkan uang dari atas panggung saat tahapan kampanye dimaknai tidak melanggar karena semua tokoh yang hadir merupakan pengusung dan pendukung salah satu pasangan calon.
Pendataan KTP calon pemilih dengan imbalan
sembako dan uang ratusan ribu menjadi hal yang lumrah tanpa adanya upaya himbauan
dari pengawas, kembali lagi apakah tidak tau atau pura – pura tidak tahu karena
tidak adanya laporan kilahnya.
Tebus murah sembako menjadi hal yang wajar dan
dianggap lumrah oleh penyelenggara pemilu, teguran Bawaslu menjadi lucu dengan
dalih tidak ada perungdang-undangan yang melarangnya.
Diduga para birokrat dikerahkan untuk
memenangkan salah pasangan calon walikota dengan program-programnya.
Ini bukan ciri khas Arek Malang, Arek Malang menentang politisasi SARA, Arek Malang menolak ujaran kebencian, Arek Malang
tidak akan merusak kotannya sendiri dengan hal-hal diatas.
Potensi politik udah sangat vulgar pada hari H
Pemungutan suara nanti (27 nov 24), pelanggaran Terstruktur – Sistematis – Masif
(TSM) udah Nampak, saya khawatir APH juga menjadi bagian dari Brutalnya
Demokrasi Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Malang yang tinggal beberapa hari lagi.