Oleh
( Sekretaris PC.ISNU Kota Malang,Praktisi, Dosen, Pegiat Pemilu
& Demokrasi)
Alimmustofa.com -Pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 semakin
dinamis dengan keluarnya beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan
mantan narapidana tindak pidana korupsi yang akan maju dalam pertarungan Pilkada
serentak 2024.
Perhatian publik terfokus menyoroti syarat calon bagi
mantan napi tipikor berkenaan dengan prasyarat jeda 5 tahun sejak bebas murni
dari pidana kurungan badan. Perbedaan pernafisiran tidak saja terjadi dihadapan
publik dari berbagai kalangan ahli hukum, penyelenggara, akademisi, praktisi
pemilu, pegiat pemilu dan masyarakat, yang berkesimpulan bahwa merujuk pasal 7 Undang-Undang
Pemilihan, bahwa mantan napi tipikor wajib jeda (5) tahun untuk dapat
mencalonkan diri dipemilihan kepala daerah. Hal ini dikuatkan dengan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.
Perdebatan diatas sah dan sudah menjadi keharusan
dalam kerangka sudut pandang hukum, hak asasi manusia, politik dalam penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah. Akan tetapi masih banyak yang perlu dikritisi
berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang pemilihan
kepala daerah.
Dalam hal ini penulis akan menyajikan narasi terkait
pasal larangan bagi petahana (Gubernur/Bupati/Walikota) yang maju dalam
pemilihan serentak tahun 2024. Sebagaimana diatur di pasal 71 ayat (2) UU No.10 Tahun 2016 sebagaimana diubah terakhir menjadi UU No. 6 Tahun 2020, dimana
dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa “ Gubernur atau Wakil Gubernur,
Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum
tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali
mendapat persetujuan tertulis dari Menteri”.
Sebagai konsekuensi dari larangan ketentuan diatas,
pasal 71 ayat (5) adalah menerapkan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU
Provinsi atau KPU kabupaten/Kota, hal ini sebagai konsekuensi sanksi
administrative. Sedangkan sanksi pidana atas pelanggaran pasal 71 diatur dalam
pasal 187 ayat (6), pasal 188 dan pasal 190 yang masing-masing ada ketentuan
pidananya.
Kembali ke pelanggaran pasal 71 ayat 2 dalam
undang-undang pemilihan, pada pasal ini ditegaskan yang menjadi obyek hukumnya
adalah Gubernur
atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota. Secara definisi konstitusional dalam pasal 18 ayat (4)
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara
demokratis”.
Selanjutnya definisi operasional dari Gubernur atau Wakil Gubernur,
Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota, dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) yang
kesimpulanya sebagai berikut “Calon Gubernur, Bupati, Walikota adalah peserta pemilihan yang
diusulkan oleh politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang
mendaftar atau didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan KPU Kabupaten Kota. Artinya Gubernur, Bupati dan Walikota adalah hasil
pencalonan oleh partai politik dan perseorangan yang dipilih secara langsung
dalam pemilihan.
Dengan demikian diperoleh penegasan bahwa yang
dimaksud dengan diksi petahana adalah Gubernur, Bupati atau Walikota yang akan
mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah dilarang melanggar pasal 71
ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Pemilihan. Pelanggaran terhadap ketentuan
ini sebagaimana dijelaskan diatas adalah sanksi pembatalan calon dan
sanksi pidana.
Lalu bagaimana kedudukan Penjabat Gubernur, Penjabat
Bupati dan Penjabat Walikota atau dikenal dengan sebutan PJ atau Penjabat. Penjabat adalah orang yang diangkat
oleh Presiden atau Menteri dalam negeri berdasarkan undang-undang karena adanya
kekosongan Gubernur, Bupati dan Walikota,sehingga jabatan bersifat sementara.
Kembali ketopik diatas, bagaimana kedudukan hukum PJ Gubernur,
PJ Bupati dan PJ Walikota ketika melakukan pelanggaran atas pasal 71 ayat (2)
dan ayat (3) UU No.10 Tahun 2016, dapatkah pelanggaran tersebut dikenakan
sanksi pembatalan calon sebagaimana ketentuan ayat (5).
Tentunya KPU dan Bawaslu harus hati-hati dalam melakukan
tindakan, sebab secara tegas dalam pasal 71 ayat (2) dan ayat (3), jika yang melakukan pelanggaran
atas pasal tersebut adalah Penjabat (PJ), sementara obyek hukumnya adalah
Gubernur, Bupati dan Walikota yang menduduki jabatan karena keterpilihan dalam
pemilihan, sedangkan Penjabat (PJ) memperoleh jabatan karena penunjukan atau
pengangkatan.
Dari sudut pandang ini, tentu jika pasal 71 ayat (2)
dan ayat (3) sama sekali tidak merujuk pada penjabat atau PJ, tetapi secara
tegas menentukan obyek hukumnya adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Sehingga
bisa disimpulkan bahwa tidak merujuk pada penjabat atau PJ.(*)
Artikel ini telah dipublis di Timesindonesia.co.id
Editor : Alim Mustofa