Problem Hukum: Larangan Mutasi Jabatan bagi Petahana | Alim Mustofa -->
Cari Berita

Advertisement

Problem Hukum: Larangan Mutasi Jabatan bagi Petahana

Rabu, 04 September 2024

 

Oleh

Alim Mustofa

( Sekretaris PC.ISNU Kota Malang,Praktisi, Dosen, Pegiat Pemilu & Demokrasi)

 

Alimmustofa.com -Pemilihan kepala daerah serentak tahun 2024 semakin dinamis dengan keluarnya beberapa Putusan Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan mantan narapidana tindak pidana korupsi yang akan maju dalam pertarungan Pilkada serentak 2024.


Perhatian publik terfokus menyoroti syarat calon bagi mantan napi tipikor berkenaan dengan prasyarat jeda 5 tahun sejak bebas murni dari pidana kurungan badan. Perbedaan pernafisiran tidak saja terjadi dihadapan publik dari berbagai kalangan ahli hukum, penyelenggara, akademisi, praktisi pemilu, pegiat pemilu dan masyarakat, yang berkesimpulan bahwa merujuk pasal 7 Undang-Undang Pemilihan, bahwa mantan napi tipikor wajib jeda (5) tahun untuk dapat mencalonkan diri dipemilihan kepala daerah. Hal ini dikuatkan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 56/PUU-XVII/2019.


Perdebatan diatas sah dan sudah menjadi keharusan dalam kerangka sudut pandang hukum, hak asasi manusia, politik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah. Akan tetapi masih banyak yang perlu dikritisi berkaitan dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam undang-undang pemilihan kepala daerah.


Dalam hal ini penulis akan menyajikan narasi terkait pasal larangan bagi petahana (Gubernur/Bupati/Walikota) yang maju dalam pemilihan serentak tahun 2024. Sebagaimana diatur di pasal 71 ayat (2) UU No.10 Tahun 2016 sebagaimana diubah terakhir menjadi UU No. 6 Tahun 2020, dimana dalam pasal tersebut ditegaskan bahwa Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan penggantian pejabat 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri”.


Sebagai konsekuensi dari larangan ketentuan diatas, pasal 71 ayat (5) adalah menerapkan sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau KPU kabupaten/Kota, hal ini sebagai konsekuensi sanksi administrative. Sedangkan sanksi pidana atas pelanggaran pasal 71 diatur dalam pasal 187 ayat (6), pasal 188 dan pasal 190 yang masing-masing ada ketentuan pidananya.


Kembali ke pelanggaran pasal 71 ayat 2 dalam undang-undang pemilihan, pada pasal ini ditegaskan yang menjadi obyek hukumnya adalah Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota. Secara definisi konstitusional dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 adalah “ Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.


Selanjutnya definisi operasional dari Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota, dalam ketentuan pasal 1 ayat (3) dan ayat (4) yang kesimpulanya sebagai berikut “Calon Gubernur, Bupati, Walikota adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh politik, gabungan partai politik, atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan di Komisi Pemilihan Umum Provinsi dan KPU Kabupaten Kota. Artinya Gubernur, Bupati dan Walikota adalah hasil pencalonan oleh partai politik dan perseorangan yang dipilih secara langsung dalam pemilihan.


Dengan demikian diperoleh penegasan bahwa yang dimaksud dengan diksi petahana adalah Gubernur, Bupati atau Walikota yang akan mencalonkan diri lagi dalam pemilihan kepala daerah dilarang melanggar pasal 71 ayat (2) dan Ayat (3) Undang-Undang Pemilihan. Pelanggaran terhadap ketentuan ini sebagaimana dijelaskan diatas adalah sanksi pembatalan calon dan sanksi  pidana.


Lalu bagaimana kedudukan Penjabat Gubernur, Penjabat Bupati dan Penjabat Walikota atau dikenal dengan sebutan PJ atau Penjabat. Penjabat adalah orang yang diangkat oleh Presiden atau Menteri dalam negeri berdasarkan undang-undang karena adanya kekosongan Gubernur, Bupati dan Walikota,sehingga jabatan bersifat sementara.  


Kembali ketopik diatas, bagaimana kedudukan hukum PJ Gubernur, PJ Bupati dan PJ Walikota ketika melakukan pelanggaran atas pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) UU No.10 Tahun 2016, dapatkah pelanggaran tersebut dikenakan sanksi pembatalan calon sebagaimana ketentuan ayat (5).


Tentunya KPU dan Bawaslu harus hati-hati dalam melakukan tindakan, sebab secara tegas dalam pasal 71 ayat (2)  dan ayat (3), jika yang melakukan pelanggaran atas pasal tersebut adalah Penjabat (PJ), sementara obyek hukumnya adalah Gubernur, Bupati dan Walikota yang menduduki jabatan karena keterpilihan dalam pemilihan, sedangkan Penjabat (PJ) memperoleh jabatan karena penunjukan atau pengangkatan.


Dari sudut pandang ini, tentu jika pasal 71 ayat (2) dan ayat (3) sama sekali tidak merujuk pada penjabat atau PJ, tetapi secara tegas menentukan obyek hukumnya adalah Gubernur, Bupati dan Walikota. Sehingga bisa disimpulkan bahwa tidak merujuk pada penjabat atau PJ.(*)

Artikel ini telah dipublis di Timesindonesia.co.id

Editor     : Alim Mustofa