Ilurtrasi oleh A-Liem Tan
AJINING WIBOWO SOKO ANGPAO
Oleh: Alim Mustofa
(Generasi Muda Penuh Logika/Gemplo)
Alimmustofa.com – Prinsip kepemimpinan menjadi tolok ukur dalam asas kepantasan seseorang apakah layak menjadi pemimpin atau tidak. Dalam pemahaman pada umumnya kepemimpinan sangat dipengaruhi oleh sikap, tingkah laku, tindak tanduk, sopan santun, tutur kata, latar belakang dan kepribadian serta kepantasan dalam berbusana dikesehariannya.
Meski dalam setiap peradaban selalu akan ada pergeseran nilai, akan tetapi dalam prespektif ketimuran, sosok pemimpin dituntut selalu identik dengan hal-hal diatas. Asas kepantasan prilaku diatas menjadi kesepakatan umum menjadi prasyarat untuk seorang pemimipin, sehingga ada tuntutan jika seorang pemimpin haruslah memiliki kelebihan dibanding dengan orang pada umumnya. Kelebihan yang dimaksud misalnya seorang pemimpin harusnya orang yang mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup, berperilaku yang baik, berwibawa, memiliki kecerdasan emosional dan lain sebagainya. Sehingga syarat-syarat tersebut menjadi tuntunan jika ada seseorang yang berniat menjadi pemimpin.
Sebagaimana falsafah Jawa yang menyatakan bahwa prinsip kepemimpinan setidaknya bercemin pada pepatah, “ajining diri soko lathi, ajining rogo soko busono, yakni lakon kang sejati”. Jika diartikan bahwa kemampuan menempatkan diri disesuaikan dengan tata busananya (situasinya) sedangkan harga diri seseorang tergantung perkataanya.
Pepatah ajining diri soko lati memberikan pesan pada manusia, bahwa perlunya menjaga ucapan, perkataan yang keluar dari mulut kita. Banyak peristiwa yang kita saksikan seseorang yang sangat terkenal (pesohor) hancur karena tidak mampu mejaga perkataanya. Kata-kata kasar, kotor, tidak sopan yang keluar dari mulut seseorang akan mencerminkan diri seseorang, sebaliknya jika seseorang mampu menjaga ucapannya akan memberikan nilai yang baik atau simpati publik. Seorang pemimpin akan sangat terukur dan berhati-hati dalam berbicara didepan umum, atau kepada lawan bicaranya, mampu menahan diri, tidak mudah marah ketika menghadapi situasi apapun. Pepatah yang sangat umum adalah “memang lidah tak bertulang” maka akan mudah sekali terpeleset ucapannya.
Ajining raga soko busono, ini dapat dipahami sebagai pemimpin harus mampu menempatkan diri terhadap situasi atau keadaan dimana dia sedang berada atau berpijak. Mungkin ketika kita melihat seorang yang berpakaian kumal, lusuh, maka dalam pikiran kita akan menilai bahwa seseorang tersebut tidak bisa menghargai dirinya sendiri dengan berpakaian yang lebih rapi, bersih. Demikian pula dari cara berpakaian orang akan dapat menilai pribadi seseorang. tidak harus mahal, akan tetapi kerapian, kebersihan dan kepantasaan dalam berpakaian akan mencerminkan seseorang tersebut seperti apa. Penampilan luar (busono) sangat berpengaruh terhadap raga manusia, terhadap derajat wibawa dan nilai.
Dewasa ini, pasca refromasi tahun 1998 ternyata buah reformasi tidak saja memberikan kebebasan yang lebih untuk menyampaikan pendapat didepan umum. atas nama demokrasi, seseorang tanpa memperhatikan etika komunikasi publik membuat pernyataan yang kerap kali menyudutkan seseorang. Selain pranata sosial yang mangalami pergeseran atau dapat dikatakan hancurmya pranata sosial atas nama demokrasi, agaknya pepatah ajining diri soko lati dari seorang publik figure juga mengalami pergeseran. Jika sebelumnya seseorang akan ditokohkan karena ke-ilmuanya, prilaku etika moralnya, ke-aliman ilmu agamanya, latar belakang keluarganya, kini perlahan bergeser kearah pragmatisme akibat pengaruh liberalisasi budaya imbas reformasi. Sehingga semua diukur dengan materi kebendaan atau kemewahan, hal ini ditandai dengan banyaknya flexing oleh seseorang demi popularitasnya. Pamer kekayaan dilakukan demi menunjukan eksistensinya kepada publik, menjadi gejala umum bahwa ukuran popularisme atau ketokohan seseorang. Maka tidak jarang seseorang kepingin banyak dikenal dengan cara melakukan flexing , meski kadang dilakukan dengan cara palsu.
Gejala ini juga mulai merambah kalangan figur publik atau figur politisi, dimana banyak tokoh publik popular karena melimpahnya kekakayaan yang dimiliki dengan sedikit royal kepada sebagian orang disaat tertentu misalnya menjelang tahun politik. Tiba – tiba banyak orang dermawan yang muncul ke permukaan dengan cara bagi-bagi sedekah kepada si miskin atau si mental miskin. Tanpa melihat latar belakang tokoh tersebut, si miskin atau si mental miskin mengagung-agungkan dan menokohkan sebagai seorang yang paling berwibawa, karena kekayaannya dan sikap mendadak dermawan.
Banyak sekali orang muncul dengan situasi ini, meski berlatar belakang preman, mafia, koruptor, masyarakat tidak perduli lagi, yang terpenting adalah ada yang memberi uang. Kondisi ini kayaknya kewibawaan seseorang tidak lagi diukur dari prilaku etika moral seseorang, pepatah ajining diri soko lati mulai pudar sebagai ukuran ketokohan seseorang, akan tetapi kedermawanan sesaat menjadi ukuran baru lingkungan sosial.
Fenomena ini membawa penulis sekitar 10 tahun lalu menambahkan pepatah sebagai filosofi ketokohan seseorang karena dermawan pragmatis dengan pepatah “ Ajining Wibowo Soko Angpao”. Artinya ketokohan seseorang diukur dari seberapa banyak memberikan hadiah seseorang tersebut dilingkungannya dengan tujuan sesaat. Kata angpao sendiri diambil dari istilah yang biasa digunakan oleh masyarakat tionghoa. Angpao artinya sendiri adalah bingkisan dalam amplop merah sebagai hadiah yang biasanya berisi uang.
Sedekah politik untuk kebutuhan sesaat menjadi trend baru untuk menyokong seseorang agar nampak baik (berwibawa) didepan publik, sehingga dalam moment tertentu sering cara ini digunakan sebagai cara yang pragmatis untuk tujuan sesaat . Ajining Wibaowo Soko Angpao memberikan penegasan kepada publik, bahwa kadang tidak perlu pintar atau berilmu untuk mendadak tokoh (*)
Editor : Alim Mustofa