APA KABAR INTEGRITAS
(Refleksi Sebuah Nilai Demokrasi)
Oleh : Alim Mustofa
Koordinator Akademi Pemiliu dan Demokrasi (APD) Kota Malang
Artikel ini telah dipublis di Tugu Malang.com
Alimmustofa.com - Kata Integritas menjadi sebuah
pijakan seseorang dalam rangka menjaga sebuah nilai, sikap dan prilaku serta
jati diri seorang atau seseorang dalam suatu situasi atau dalam suatu lingkup
kerja, tugas dalam pengejawantahan sebuah nilai yaitu moral.
Orang dapat dikatakan
berintegritas ketika prilaku sesorang diukur antara ucapan, tindakan dan
ketetapan hati dalam sebuah tindakan tercermin dalam satu kesatuan yang utuh dikehidupan
sehari-hari.
Implementasi Integritas dalam
sebuah sistem kenegaraan atau pemerintahan menjadi sebuah norma yang wajib
untuk dilaksanakan oleh pejabat politik, birokarsi atau pejabat publik. Hal ini tak lepas dari tujuan yang ingin
dicapai didirikannya sebuah negara, yaitu untuk mencapai kesejahteraan dan
keadilan sosial. Sehingga dengan demikian, kesepakatan ini diterjemahkan dalam policy negara yaitu berupa konstitusi dan perundang-undangan.
Konkritnya penerjemahan integritas dalam sistem pemerintahan adalah terwujudkan
Good Governace dan Clean Government.
Diyakini tujuan bernegara ini
akan mudah tercapai jika upaya mewujudkan Good
Governace dan Clean Government
cepat tercapai. Maka cita – cita mewujudkan kesejahteraan masyarakat bukan suatu yang mustahil untuk diwujudkan.
Aktualisasi
Nilai Integritas Dalam Pemilu
Terbentuknya pemerintahan yang
baik, kokoh, legitimet, kredibel tentu tak lepas dari sebuah proses politik
yang baik dan bersih. Tak terbantahkan
lagi bahwa niat yang baik didukung dengan proses yang benar sudah barang tentu
akan menghasilkan capaian yang benar dan ideal, sebaliknya jika sesuatu diawali
dengan niat tidak baik dan proses yang cedera tentu akan menghasilkan capaian
yang cacat atau tidak baik.
Proses politik pembentukan
pemerintahan dalam suatu negara diawali oleh proses politik yang dinamakan
pemilihan umum, hal ini berlaku dalam suatu negara yang menganut sistem
demokrasi. Tak pelak lagi proses politik
dalam pemilu menjadi ajang konflik poltik yang tersistem dalam sebuah peraturan
perundang-undangan.
Dikatakan konflik poltik
perebutan kekuasaan, karena kontestasi dalam pemilu memberikan ruang
persaingan, pertentangan, pertarungan sekaligus kompromi-kompromi politik antara
peserta, penyelenggara, pemerintah, kelompok kepentingan (interest group), kelompok penekan (preasure group) dan
masyarakat.
Negara dengan keputusan
politik telah mengatur sebuah sistem kontestasi politik yang telah
dianggap baik dan yang terbaik dari sekian
banyaknya kompromi politik sebelum peraturan berupa undang-undang ditetapkan.
Begitu pula negara telah membuat sebuah aturan kontestasi politk berupa
undang-undang pemilihan umum.
Termaktup dalam pasal 4 huruf
(b) Undang-Undang Nomor 7 Trahun 2023, sebagaimana diubah menjadi Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2023 disebutkan bahwa pengaturan
penyelenggaraan pemilu bertujuan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis dan berintegritas. Kemudian ditegaskan
lagi dalam persyaratan untuk menjadi seorang penyelenggara pemilu, juga
dipersyaratkan mempunyai sikap berintegritas ditambah berkepribadian yang kuat,
jujur dan adil. Persyaratan ini berlaku bagi calon anggota Komisi Pemilihan
Umum (KPU), calon anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan calon Anggota
Dewan Kehormatan Pemilihan Umum (DKPP).
Tidak cukup dengan penegasan
diatas, undang-undang pemilu juga telah menekankan agar pemilihan umum
mendapatkan hasil yang berkualitas baik dalam proses maupun hasil, pasal 2 – 3
undang-undang pemilu telah menetapkan Asas dan Prinsip Pemilu, yaitu asas
pemilu meliputi Langsung,Umum, Bebas,Rahasia,Jujur dan Adil. Kemudian telaah
implementasinya harus memenuhi prinsip – prinsip pemilu yaitu, mandiri, jujur,
adil,berkepastian hukum, tertib, terbuka,proposional, professional, akuntabel,
efektif dan efisien.
Kesemua nilai prinsip diatas
dalam rangka mewujudkan pemilu yang berintegritas, jujur dan adil. Batasan
nilai asas dan prinsip pemilu menjadi acuan pokok bagi penyelenggara pemilu
baik oleh KPU, Bawaslu maupun DKPP.
Diyakini pemilu berintegritas
akan terwujud jika terpenuhi empat syarat, yaitu integritas regulasi,
integritas penyelenggaraan, integritas kontestasi dan integritas pemilih dapat
berjalan beriringan. Keempat komponen
tersabut saling mempengaruhi terhadap kualitas demokrasi dalam penyelenggaran
perebutan kekuasaan politik melalui pemilihan umum.
“ Proses tidak pernah mengkhianati
hasil”, pepatah ini sebagai alat refleksi terhadap proses peningkatan kualitas
demokrasi dalan sisi rekruitmen calon penyelenggara pemilu, baik di KPU,
Bawaslu maupun DKPP. Kembali pada filosofi diatas, bahwa proses mempengaruhi
hasil, proses yang baik diyakini akan menghasilkan suatu capaian yang
berkualitas, juga sebaliknya.
Apakah proses penyiapan
instrument demokrasi masih mengedepankan nilai moral, etika, etiket, berpijak
pada norma-norma, dan niatan yang baik. Pertanyaan sunyektif ini menjadi
pertanyaan umum dikalangan masyarakat luas, terutama jika kemudian disandingkan
dalam menilai suatu proses perjalanan rekruitmen calon penyelenggara pemilu.
Tidak bisa dipungkir jika
dalam proses rekruitmen poltik dalam menyiapkan calon penyelenggara pemilihan
umum syarat diwarnai kepentingan oleh para pihak. Kepentingan yang kemudian
diterjemahkan dalam realita politik bahwa sudah menjadi kelaziman jika
proses-proses politik rekruitmen calon penyelenggara tak lepas dari lingkaran
kepentingan simpul-simpul sosial politik oleh kelompok kepentingan, baik itu
partai politik, organisasi masyarakat dengan atas nama distribusi kader, oligarki
dan sebagainya.
Sudah barang tentu kompromi
antara calon penyelenggara, tim seleksi, kekuatan jaringan menjadi suatu
kewajaran, dengan atas nama “ Lumrah” atau wajar. Ketika
kepentingan-kepentingan kelompok diatas dipertemukan dalam sebuah kata “ kepentingan
prakmatis”, maka capaian ideal diatas menjadi sebuah keniscayaan. Antar pihak
saling megunci syarat komprominya. Bisa jadi nafsu politiknya lebih kuat dari
pada aspek – aspek moral, integritas, etika dan norma-norma baik lainnya.
Jika semua terjadi demikian,
kiranya kata integritas terpasung atas kepentingan-kepentingan prakmatisme. Sebab
kesepakatan-kesepakatan dianggap lumrah mengabaikan norma dan nilai kebaikan.
Sumpah jabatan dibawah kitab suci atas nama Tuhan menjadi proses formalitas, mengingkari
sumpah atas nama kepentingan menjadi lazim.
Jika dulu kita diajarkan
bersikap jujur, lurus, beretika dengan berpedoman norma-norma yang berlaku,
kini rasanya banyak pergeseran – pergeseran makna. Mungkin tidak bergeser makna
secara substantive, akan tetapi
pergeseran makna untuk kepentingan prakmatis. Pertanyaannya, masihkan
diperlukan nilai etika moral, kejujuran diajarkan untuk generasi berikutnya.
Atau perlukah membuat nilai baru atas definisi moral, kejujuran, integritas,
sopan santun mendasarkan kepentingan kekinian.
Seseorang terpilih dalam
proses politik bukan karena integrity,
morality, personality, professionality, akan tetapi seseorang terpilih
dalam sebuah proses politik hanya karena tegak lurus terhadap kepentingan
kelompok meskipun dalam tanda kutip bodoh. Dengan demikian pertanyaan apa kabar
integritas menjadi pertanyaan kerinduan publik akan terwujudnya cita-cita luhur
suatu bangsa. (*)