BUTA POLITIK
oleh : Alim Mustofa
Alimmustofa.com – Kata politik mungkin dianggap
sebagian orang akan bersikap “ Alergi” dalam tanda kutip. Tidak sedikit yang
menganggap politik itu kejam, jahat, licik sesuai dengan situasi yang dia alami
atau dia pahami dengan kemampuan nalarnya.
Tidak sedikit yang pada akhirnya mereka mengambil
sikap acuh tak acuh, kemudian anti terhadap politik karena dianggap tidak ada
gunanya, bahkan dalam puncaknya mereka akan mengambil langkah golput ketika
dalam bilik suara disaat pemilu.
Namun begitu apakah mengabil sikap golput atau
golongan putih dalam konteks hak politik dilarang !, kiranya perlu diperdalam
lagi memaknai golput sebagai suatu sikap politik.
Sikap politik awalnya merupakan pandangan atau
sikap untuk merespon yang dimiliki setiap orang untuk menerima atau menolak
masalah politik yang terjadi atau yang dialami pada fase tertentu yang kemudian
diungkapkan dengan berbagi bentuk (Chilcote,2010)
Pendapat lain, sikap dapat diartikan sebagai
suatu bentuk reaksi dari suatu perasaan untuk merespon dalam bentuk dukungan
atau penolakan (Azwar;2013:4). Secara substansi sikap politik adalah sikap
seseorang atau sekelmpok orang untuk mendukung atau menolak, dalam kontes sikap
politik secara individu dalam hak pilih adalah menggunakan atau tidak
menggunakan hak pilih adalah merupakan sikap politik.
Mendukung atau menolak terhadap peristiwa politik
merupakan bagian dari hak asasi manusia yang sah sebagaimana dilindungi oleh undang-undang
atas nama Hak Asasi Manusia.
Namun begitu perlu kiranya kita untuk merenungkan
secara mendalam, bilamana akan mengambil sikap anti politik karena kekecewaan
terhadap situasi politik yang dianggap tidak sesuai ekspektasi yang diharapkan.
Mungkin itu akan melegakan hati sesaat seacra pribadi, mengobati rasa kecewa,
akan tetapi bisa jadi kalua tidak hati-hati justru akan membawa kemudaratan
yang lebih besar.
Anti politik memang hak setiap orang dalam system
pemerintahan yang menganut sisten demokrasi, akan tetapi anti politik yang
kemudian menjadi “Buta Politik” juga
akam berdampak pada situasi yang mungkin jauh lebih buruk.
Baru - baru ini, Prof.Mahfud MD Menteri
Menkopolhukam menyatakan bahwa, daripada tidak
ada DPR, daripada tidak ada parpol, lebih baik kita hidup bernegara ini
mempunyai DPR, mempunyai parpol, meskipun jelek," ujarnya.Dikutip di CNN.Indonesia, Senin,02/04/2023.
Sebab jika bernegara tanpa DPR dan Partai Politik
maka akan terjadi lahirnya system pemerintahan yang otoriter dan monarchi.
Kesewenang-wenangan akan terjadi tanpa adanya kontrol.
Seorang penyair asal Jerman bernama Bertolt
Brecht memberikan perumpamaan tentang buta politik alam sebuah kalimat
bijaknya;
“Buta terburuk adalah buta politik. Orang yanh
buta politik tidak sadar bahwa beaya hidup, harga makanan, harga rumah,harga
obat semuanya bergantung keputusan politik.
Dia membanggakan sikap anti politiknya,
membusungkan dada dan berkoar, “ Aku Benci Politik!, Sungguh bodoh dia yang tak
mengetahui bahwa karena dia tidak mau tahu politik, akibatnya pelacuran, anak
terlantar, perampokan dan yang terburuk , korupsi dan perusahaan multinasional
yang menguras kekayaan negeri ‘
Bertolt Brecht – Penyair dan Filsof asal Jerman.
Kalimat ini mengingatkan kita semua, akan
pentingnya politik dalam kehidupan bernegara, tidak ada satu ruangpun yang
tidak terdampak kebijakan politik, kecuali kita hidup mengasingkan diri jauh
dari kelompok sosial lainnya.
Banyak orang tidak pernah membayangkan jika semua
kehidupan bermasyarakat dan bernegara adalah adanya intervensi politik berupa
kebijakan. Adanya kesejahteraan ataupun keterpurukan juga sangat bergantung
pada intervensi kebijakan politik dalam suatu negara.
Maka menurut hemat saya, akan sangat merugi jika
kita tidak “melek politik”, meski tidak
harus terjun ke politik praktis. Setidaknya merespon perkembangan isu-isu
kebijakan pemerintahan yang berdampak pada hajat hidup sehari-hari. Kita harus
sadar jika beaya sekolah, beaya rumah sakit, harga beras, upah buruh, jalur
trayek angkota, legalisasi ojek online adalah adanya intervensi politik.
Kita anti atau respon terhadap situasi apapun
tidak akan bisa menghindar dari dampak kebijakan politik, justru jika kita
bersikap anti politik akan membawa Kemudharatan yang lebih besar. Sama halnya sikap anti politik
ini akan membiarkan proses politik tidak terkontrol oleh masyarakat karena lemahnya civile society, sikap apatisme,
tanpa disadari akan mendorong terjadinya korupsi kebijakan yang pada akhirnya mendorong
dirampoknya kekayaan alam negara ini oleh sekelompok orang atau oleh korposrasi
– korporasi yang bekerja sama dengan pemegang kebijkan.
Kasus TPPO, perambahan hutan, pencurian kekayaan laut, kebijakan
pertambangan, bisa jadi merupakan bagian dari lemahnya kebijakan poltik. Eksploitasi
kebijakan politik ini akan berdampak pada berkurangnya pendapatan negara.
Meski ada yang perpendapat, pemilu tidak akan berpengarung
terhadap kehidupanya, “sekarang profesi
saya adalah tukang becak, setelah pemilu juga tetep menjadi tukang becak, jadi
apa perlunya politik atau pemilu”.
Pendapat diatas sekilas memang benar adanya,
tetapi mereka lupa bahwa jika tukang becak punya anak sekolah, mungkin keluarga sakit, jika pemilu menghasilkan
orang -orang terbaik bisa diharapkan akan mampu mengatasi kesulitan beaya
sekolah dengan program beasiawa, jika ada keluarga miskin sakit bisa juga
didukung dengan kebiajkan politik berupa undang-undang terkait dengan bantuan
pembeayaan kesehatan dari negara, atau bahkan tukang becak kesulitan ekonomi bisa
juga ada subsidi atau stimulan modal kerja untuk keluarga miskin, sekali lagi
jika hasil pemilu menghasilkan orang-orang baik.
Inilah perlunya melek politik, buta politik akan lebih
banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya, mungkin memang dampaknya tidak akan
terasa secara langsung hari ini.
Editor : Alim Mustofa