Alim Mustofa
PILKADES
TIDAK HARUS COBLOSAN LANGSUNG
Oleh
: Alim Mustofa
Pegiat
Demokrasi
Artikel ini telah dipublis sebelunya di tugumalang.id
Alimmustofa.com - Lazimnya pemilihan pucuk pimpinan suatu jabatan politik
dilakukan dengan cara pemungutan suara secara lansung (coblosan) dengan prinsip
one man one vote, atau istilah popularnya adalah voting. Hal ini
sebagai konsekuensi prinsip pelaksanaan demokrasi sebagai sebuah sistem
pemerintahan demokrasi.
Pemilihan secara langsung
terhadap jabatan politik seperti presiden, DPR, DPD , Gubernur, Bupati/Walikota
merupakan bagian dari cita-cita reformasi 98. Hal ini berkaca pada praktika
politik pada masa Orde Baru (Orba) dengan menerapkan sistem perwakilan dalam
semua aspek politik termasuk dalam hal pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah, dimana pada masa Orba pemilihan presiden dilakukan oleh Majelis
Permusyawaran Rakyat (MPR), untuk pemiilihan Kepala Daerah melalui DPRD.
Sedangkan untuk memilih anggota DPR,DRPD, rakyat pemilih hanya dapat memilih
tanda gambar partai politik peserta pemilu, karena sistem pemilu ada saat itu
menerapkan aturan sistem proposional tertutup.
Apa yang terjadi pada saat
perberlakuan sistem pada saat itu, hampir bisa dikatakan rakyat tidak mempunyai
ruang aktualiasi politik secara bebas menentukan calon wakil yang sesuai dengan
aspirasinya. Hal ini karena semua pintu partispasi politik secara langsung
tertutup dengan sistem demokrasi yang ototarian.
Apa yang terjadi ?
Dengan sistem demokrasi yang
ototarian, akan timbul gab yang lebar antara aspirasi rakyat dengan keputusan
politik partai yang nota bene merupakan representasi perwakilan rakyat (civil
society). Partai politik sebagai manifestasi aktualisasi politik rakyat melalui
pemilu untuk menempatkan kadernya di lembaga legislative (DPR/DPRD) mempunyai
agenda politik tersendiri yang bertentangan dengan kehendak voter
(pemilih/rakyat).
Maka tidak jarang dalam
praktiknya, jika ada anggota DPR/DPRD yang memperjuangkan aspirasi pemilih
(rakyat) pada akhirnya harus di recall oleh partainya, karena dianggap
melawan kebijakan partai atau tidak sejalan dengan sikap politik partai.
Oleh sebab itu praktik yang
demikian itu, kemudian dilawan secara politik melalui peristiwa reformasi tahun
1998. Dimana salah satu amanah reformasi adalah mengubah sistem pemilu dengan
sistem proposional terbuka, dimana setiap partai akan menyusun calon
legislativenya dengan mencantumkan nomor urut, nama dan foto calon.
Setiap pemilih akan secara
langsung, umum, bebas dan dijamin kerahasiaanya untuk memilih calon wakil yang
diinginkan secara langsung, dengan harapan tidak ada lagi praktik pembelokan
dukungan politik sebagaimana terjadi pada zaman orde baru.
Kembali ke pemilihan kepala
desa (pilkades), perkembangan demokrasi dan tuntutan zaman akan keterbukaan,
perlindungan HAM, perlindungan hak politik yang semakin maju juga memberikan
ruang kepada proses demokratisasi pemilihan kepala desa juga secara langsung. Pemilih
bisa secara langsung berinteraksi politik dengan calon kepala desa, dimana
dalam interaksi tersebut dapat melalui berbagai pendekatan. Pola komunikasi antara
calon kepala desa dengan pemilih biasanya juga diwarnai dengan
pendekatan-pendekatan terhadap kekuatan politik lokal yaiitu tokoh, organisasi
kemasyarakatan, simpul budaya dan adat.
Komunikasi politik antara
calon dan pemilih sedemikian rupa menggambarkan pola hubungan antara patron
and client dalam konteks sosio ekonomi. Pola hubungan yang dibangun oleh patron
(calon) kepada client (pemilih) diharapkan menghasilkan dukungan politik
berupa suara secara konkrit pada saat pemilhan.
Lalu apakah pemilihan Kepala
Desa harus selalu menerapkan one man one vote melalui voting pemilihan langsung ?
Sebagai potret representasi
pelaksanaan demokrasi tidaklah salah, bahwa demokrasi mensyaratkan partisipasi
dari masyarakat. Akan tetapi tidaklah salah,jika dalam implementasi demokrasi
juga memperhatikan atau memedomani nilai-nilai lokal yang menjadi rujukan
adat/budaya yang berlaku.
Demokrasi bukanlah menjadi
monopoli barat, atau sistem liberalis. Jauh dari pada nilai-nilai demokrasi
hasil pemikiran barat, di Nusantara telah berlaku rumusan dalam mencapai
kesepakatan politik melalui mekanisme musyawarah. Proses ini dilakukan
oleh simpul masyarakat/ tokoh adat untuk menentukan keputusan politik desa,
seperti rencana setrategis desa, dan keputusan strategis lainnya termasuk
memilih kepala desa.
Ada ruang yang terbuka cukup
lebar untuk menentukan keputusan politik dalam hal ini pemilihan kepala desa
melalui mekanisme musyawarah. Hal ini tercermin dalam payung hukum yang secara
kontitusional dapat digunakan sebagai landasan hukum untuk melegitimasi hasil
musyawarah sebagai sebuah mekanisme yang sah.
Dalam konteks pemilihan kepala
desa pergantian antar waktu (PAW), pasal 18 UUD’45 merupakan landasan
konstitusional yang kemudian diterjemahkan dalam undang-udang nomor 23 tahun
2014 tentang pemerintahan daerah dan
undang-undang nomor 6 tahun 2014 tentang Desa serta peraturan pemerintah (PP)
sebagai aturan operasionalnya.
Study kasus pelaksanaan
pemilihan kepala desa PAW di Desa Pakiskembar Kecamatan Pakis Kabupaten Malang
yang akan dilaksanakan tanggal 31 maret 2022 besok, sebenarnya masih ada ruang
untuk melakukan mekanisme pemilihan melalui mekanisme musyawarah. Hal ini
diatur dalam ketentuan pasal 29 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Bupati (perbub)
nomor 195 tahun 2021 tentang Pemilihan Kepala Desa Antar Waktu melaluiMusyawarah Desa. Yang pada intinya pemilihan kepala desa dapat dilaksanakan
melalui musyawarah hasil kesepakatan peserta musyawarah. Dalam tidak tercapai
kesepakatan maka pemilihan kepala desa akan dilaksanakan melalui pemungutan
suara.
Jika menilik pada nilai-nilai yang
terkandung dalam sila-sila Pancasila, musyawarah adalah ruh dari demokrasi yang
menjadi prinsip dasar yang dicita-citakan para founding fathers pendiri bangsa
ini. Sebuah prinsip yang luhur yaitu mayoritas menghargai dan menghormati
minoritas, sedang mekanisme one man one vote atau voting adalah meletakan nilai dasar saling
mengalahkan. Mayoritas menguasai minorutas, sedangkan minoritas merasa
tercederai dengan kekalahan dalam pertarungan politik.
(Perenungan menjelang
pelaksanaan pemilihan kepala desa antar waktu di Kabupaten Malang tanggal 31
Maret 2022.)
Editor : Alim Mustofa