Oleh
: Alim Mustofa
Ketua Bawaslu Kota Malang
Berkaca
pada pemilu dan pemilihan sebelumnya,
dapat dijadikan rujukan atau pembelajaran bagi kita semua untuk terus mencari
tatananan ideal akan penyelenggaraan pemilu atau pemilihan yang demokratis, kredibel
,efektif, efiesien, dan profesional
dalam rangka memperoleh hasil pemilu yang berkeadilan.
Perlu kita ingat dalam setiap helatan pemilu senantiasa
menyisakan masalah yang cukup krusial disetiap tahapan. Jika awal - awal
pelaksanaan pemilu pasca reformasi persoalan yang paling digugat atau dipersoalkan
oleh pihak yang kalah adalah hasil rekapitulasi perhitungan suara di komisi
pemilihan umum, maka pada fase pemilu berikutnya persoalan pemilu telah
berkembang. Isu-isu netralitas penyelenggara pemilu, persoalan administrasi
pemilu dan dugaan politik uang telah menjadi problem tersendiri dalam setiap
tahapan penyelenggaraan pemilu.
Respon dari banyaknya
persoalan diatas, pemerintah, perwakilan rakyat, pegiat pemilu, akademisi yang
konsen terhadap pemilu bersama-sama melakukan ihktiar untuk memperbaiki sistem
pemilu dengan bidang keahlian masing-masing. Hal ini mulai menampkan hasil yang
signifikan dalam perbaikan demokrasi di Indonesia. Perubahan yang dimaksud
adalah adanya upaya peningkatan kualitas penyelenggara pemilu dari pemilu-ke
pemilu, hal ini dapat dilihat dari penguatan kelembagaan KPU dan Bawaslu yang
sebelum reformasi masih bersifat ad-hoc disemua tingkatan.
Perlu diingat
penyelenggaraan pemilu sebelum reformasi dilaksanakan panitia yang dibawah
kewenangan departemen dalam negeri, hal ini sebagaimana termaktub dalam
undang-undang nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan
Permusyawaratan /Perwakilan Rakyat pasal
8 ayat (1) Pemilihan umum dilaksanakan oleh Pemerintah dibawah pimpinan
Presiden. Pada ayat (3) Untuk melaksanakan pemilihan umum, Presiden membentuk
sebuah Lembaga Pemilihan Umum dengan diketuai Menteri Dalam Negeri. Sehingga
sudah dapat dipastikan jika hasil pemilu tidak dapat dijamin keadilannya,
karena semua dikendalikan penguasa saat rezim orde baru, bahkan pemenangnya
sudah dapat ditentukan.
New Normal Pemilu/Pemilihan
Ditengah – tengah pandemic
covid-19 yang dihadapi negeri ini yang belum terkendali betul dan kapan wabah
ini berlalu. Pemerintah juga harus menyelamatkan agenda nasional yaitu
pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 yang sempat tertunda beberapa bulan
dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
2 Tahun 2020 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor I Tahun 2o14
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Ditengah
ketidakpastian kapan kelanjutan pelaksanaan pilkada serentak dilanjutkan,
pemerintah melalui kementrian dalam negeri , Komisi II DPR-RI , Komisi Pemilihan Umum dan Bawaslu sepakat pelaksanaan
pilkada 2020 digelar 9 desember 2020. Tentu ini tidak mudah dipahami oleh
Sebagian pihak, karena wabah pandemic covid-19 belum ada tanda-tanda kapan
berakhir. Persoalannya adalah bagaimana jadwal kelanjutan pelaksanaan
penyelenggaraan pilkada telah disepakati bersama antara pemerintah, DPR dan
penyelenggara pemilu.
Berkaca dari pelaksanaan
pemungutan suara pemilu atau pilkada sebelumnya, Pelaksanaan pemungutan suara
di Tempat Pemungutan Suara (TPS) oleh pemilih dengan cara mencoblos kertas
suara telah dilaksanakan disetiap pelaksanaan pemungutan suara pemilu maupun
pilkada. Penandaan model coblos seperti ini sepertinya menjadi sesuatu yang
lazim dilakukan dan susah untuk diubah dengan model penandaan pemungutan suara
dalam bentuk lainnya. Dalam sejara pelaksanaan pemungutan suara pemilu dari
pemberian tanda coblos menggunakan paku atau alat tusuk dari paku pada kertas
suara menjadi tanda centang /contreng menggunakan bolpoint pernah
dilaksanakan pada pemilu tahun 2009.
Model pemungutan suara di
TPS sebagaimana diatas tentu akan sangat rawan jika dilaksanakan disaat
pandemic civid-19 ini masih mewabah. Bayang-bayang kekhawatiran akan
keselamatan petugas dan pemilih menjadi ancaman yang serius untuk dipikirkan. ada
mobilitas yang tinggi pada penyelenggaraan pemilu/pilkada yang dilakukan oleh
petugas keamanan, pemilih, penyelenggara, kontestan dan para pihak.
Bencana nasional wabah
pandemic covid -19 tentu akan menjadi persoalan sendiri, akan banyak
permasalahan yang timbul pada saat pelaksanaan bimbingan tehnis jajaran badan
ad-hoc baik di KPU maupun di Bawaslu. Sementara perberlakuan social
distancing, phisycal distancing dan PSBB menjadi suatu keharusan dalam rangka memutus
mata rantai penyebaran virus covid.
Hal yang paling penting lagi
adalah pada pelaksanaan sebelum dan saat pemungutan suara, petugas dan pemilih
terlindungi dari aspek Kesehatan. Selain protocol Kesehatan harus dilaksanakan
juga ada standarisasi yang diatur oleh KPU tentang protokol dan tatacara
pemungutan suara yang telah disesuaikan dengan protocol Kesehatan dari
pemerintah dengan memperhatikan penerapan Physical Distantcing di area TPS.
Dengan demikian pada
pelaksanaan pemungutan suara di TPS jika pendemic-covid-19 ini belum berakhir,
maka akan ada keterlibatan banyak pihak untuk mengawal proses pelaksanaan
pemungutan suara di TPS, selain petugas KPPS, Keamanan (Hansip), kepolisian dan
pemilih, satu lagi adalah unsur satgas covid atau tim medis yang juga
harus menjadi unsur utama untuk mendukung pelaksanaan pemungutan suara. Ini
menjadi suatu keharusan untuk memutus mata rantai penyebaran covid-19 dan untuk
menjamin keselamatan semua yang terlibat di TPS jika pandemic ini belum
berakhir disaat pelaksanaan pemungutan suara.
Disisi lain KPU juga harus
mempertimbangkan hak kontestan untuk melakukan kampanye tatap muka juga
kampanye metode lainnya sebaigamana diatur dalam undang-undang pemilihan kepala
daerah. Hak kontestan dalam upaya mengenalkan dirinya melalui kampamye
undang-undang 10 tahun 2016 pasal Pasal
65 (1) Kampanye dapat dilaksanakan melalui: a. pertemuan terbatas; b. pertemuan
tatap muka dan dialog; c. debat publik/debat terbuka antarcalon; d. penyebaran
bahan Kampanye kepada umum; e. pemasangan alat peraga; f. iklan media massa
cetak dan media massa elektronik; dan/atau g. kegiatan lain yang tidak
melanggar larangan Kampanye dan ketentuan peraturan perundang.
KPU harus membuat atau
menterjemahkan ketentuan diatas agar hak kontestan tetap tervalitasi tetapi
tetap dengan memperhatikan aspek yang lain.
Bagaimana aturan kampanye tatap muka atau pertemuan terbatas
diimplementasikan ke kampanye media daring atau bentuk lainnya.
New nomal pemilu yang
dimaksud adalah bagaimana penyelenggara pemilu terutama Komisi Pemilihan Umum
(KPU) membuat norma baru dalam aturan tehnis penyelenggaraan pemilu /pemilihan
dengan merangkum semua perangkat hukum (Peraturan Pemilu, Protokol Kesehatan,
Keamanan, penerapan physical distancing) untuk menjadi aturan tehnis yang
komprehensif mudah diterapkan. Hal ini perlu dilakukan agar publik percaya
bahwa pelaksanaan pilkada lanjutan sebagaimana dimaksud oleh peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 2 tahun 2020 pada angka 1. Ketentuan Pasal l20 diubah
sehingga berbunyi sebagai berikut: Pasal 120 (1) Dalam hal pada sebagian
wilayah Pemilihan, seluruh wilayah Pemilihan, sebagian besar daerah, atau
seluruh daerah terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, bencana
nonalam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan penyelenggaraan
Pemilihan atau Pemilihan serentak tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilihan
lanjutan atau Pemilihan serentak lanjutan.
Yang mana ini telah di sepakati pemerintah, DPR dan
penyelenggara pemilu tanggal 9 Desember 2020 dapat dilaksanakan dengan baik.
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di kumparan.com/tugumalang