Oleh :
Alim Mustofa
Alimmustofa.com - Momentum pemilu atau pemilihan
(Pilkada) adalah ruang terbuka bagi setiap warga negara untuk memperjuangkan
hak politiknya dalam kontestasi pemilihan umum DPR, DPD dan DPRD Provinsi dan
DPRD Kabupaten/Kota atau pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hak politik yang
dimaksud adalah hak memilih dan dipilih sesuai ketentuan perundang-undangan
pemilu atau pemilihan.
Hak
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum atau pemilihan merupakan hak politik
setiap warga Negara untuk mengembangkan diri dalam pemerintahan dan sebagai
perwujudan kongkrit atas hak yang dimiliki setiap warga Negara yang dijamin
oleh konstitusi pada pasal 27 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 dimana dinyatakan
dengan tegas bahwa setiap warga Negara memilki kedudukan yang sama dihadapan hukum
dan pemerintahan.
Lebih spesifik,
perlindungan hak politik diatur dalam undang-undang 39 tahun 1999 pasal 43 ayat (1), Setiap warga negara berhak untuk
dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui
pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Artinya
negara dalam hal ini pemerintah mempunyai kewajiban untuk memastikan bahwa hak
politik setiap warga negara terlindungi.
Perlindungan
hak politik dalam konteks norma hukum positif sedikit agak mengabaikan dalam
tanda kutiup “sisi moral” atau aspek moralitas. Mengabaikan yang dimaksud
adalah dalam perlindungan hak politik dalam konteks hak dipilih tidak
dipersyaratkan secara norma hukum yang ekeplisit melarang seorang warga negara
yang telah memiliki cacat moral yang berlaku di masyarakat.
Sebagai
contoh beberapa waktu yang lalu pada proses pemilu serentak tahun 2019, dimana
terjadi polemik yang cukup panjang tentang persyaratan calon wakil rakyat atau
DPR. Persoalan larangan syarat calon anggota DPR eks nara pidana korupsi
menimbulkan perdebatan public saat tahapan pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD
Pemilu serentak 2019.
Dalam
ketentuan pasal 240 ayat (1) huruf g. menegaskan syarat pencalonan “ tidak
pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali . secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana,”.
Pasal
ini berisi larangan sekaligus kesempatan bagi calon legislative untuk
mencalonkan dalam kontestasi politik. Undang-undang tidak berniat melakukan
filterisasi terhadap calon pejabat public atau orang yang akan menduduki
jabatan politik meski secara moral telah dianggap cacat oleh masyarakat. Secara
politik undang-undang masih melindungi orang dalam kontestasi politik meski dianggap
cacat moral dengan statusnya eks napi terpidana lebih dari lima tahun lebih
tegas eks koruptor atau pelecehan seksual.
Menilik
pada ketentuan Undang-undang no.31 tahun 1999 Tentang Pemberantaan Tindak
Pidana Korupsi Pasal 2 (1) Setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,
dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit
Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Ancaman sanksi pada ketentuan diatas menegaskan bahwa terpidana
korupsi merupakan pelanggaran berat dari sisi hukum dan norma yang berlaku.
Dampak dari prilaku korupsiyang dilakukan pejabat politik atau pejabat publik,
mengancam banyak nasib masyarakat secara luas. Pelaku korupsi secara langsung
atau tidak langsung akan menghalangi upaya perbaikan taraf hidup setiap warga
negara.
Bagi
masyarakat seorang calon pejabat politik (DPR,DPD,DPRD/kepala daerah, pejabat lembaga
negara) harus diisi oleh orang yang bermoral baik. Bermoral baik yang dimaksud
adalah yang tidak pernah melanggar norma (Hukum, Susila, Agama dan Sopan
santun), atau lebih tegas orang yang memegang etika. Atau setidaknya tidak
pernah melanggar norma hukum, norma agama dan norma susila, sebab norma Sopan
santun tidak bisa diterapkan secara universal atau dengan kata lain bergantung
adat istadat daerah.
Meski
agak susah ketika membuat batasan material yang dituangkan dalam regulasi
terkait batasan “ Moral” seorang calon
pejabat politik. Setidaknya ada upaya konkrit dari pembentuk undang-undang
untuk memperbaiki pola rekruitmen politik oleh partai dalam hal memilih calon
yang terbaik sebagai wakil rakyat, baik di legislative maupun di eksekutif.
UPAYA KPU DALAM MEMBATASI HAK
POLITIK.
Beberapa
waktu yang lalu, tepatnya di pemilu serentak 2019, ada upaya dari penyelenggara
pemilu yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia untuk melakukan
pembatas terhadap pencalonan calon anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kabupaten/Kota.
Larangan calon anggota
DPR/DPRD dari mantan narapidana kasus terpidana
korupsi yang kemudian dituangkan dalam pasal 7 ayat (1) huruf h Peraturan KPU
(PKPU) pencalonan anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota, ini
agaknya menemukan jalan buntu. Meski beberapa pegiat pemilu dan pegiat anti
korupsi mendukung upaya dari KPU, akan tetapi hal ini bertentangan dengan
udang-undang pemilu. Yakni Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan
Umum, dimana dalam pasal pencalonan tidak dicantumkan secara eksplisit bagi
seorang eks napi korupsi dilarang dalam undang-undang pemilu.
Merujuk pada putusan
mahkamah konstitusi (MK) nomor 42/PUU-XIII/2015, dalam gugatan yang diajukan
oleh Jumanto-Fator menggugat UU Pemilu
Pasal 7 huruf g dan h UU Nomor 8 Tahun 2015. Pasal 7 huruf g berbunyi:
Tidak pernah dijatuhi pidana
penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5
(lima) tahun atau lebih
Pasal 7 huruf h berbunyi,Tidak
sedang dicabut hak pilihnya berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap.
Dalam penjelasan putusan MK halam
73 “ Bahwa berdasarkan seluruh pertimbangan tersebut di atas, menurut
Mahkamah, dalil Pemohon mengenai Pasal 7 huruf g UU 8/2015 bertentangan dengan
UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitusional) sepanjang tidak
dimaknai dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur
mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan adalah mantan terpidana;
Penjelasan diatas memberikan
gambaran kepada publik mengapa upaya KPU untuk mencantumkan larangan eks napi
koruptor dalam peraturan KPU tentang pencalonan legislative di pemilu 2019
menemui jalan buntu dan batal. Hal lain yang perlu dijelaskan adalah sikap
Badan Pengaswas Pemilu yang meloloskan eks napi koruptor boleh mencalonkan diri
sebagai calon anggota DPR, DPRD. Dalam beberapa putusan sengketa dibawaslu,
Bawaslu selalu mengabulkan tuntutan pemohon, karena Bawaslu berpandangan bahwa
hak politik seseorang (hak pilih dan dipilih) dapat cabut karena dua hal,
pertama karena diatur dalam undang-undang dan kedua karena dicabut oleh putusan
pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Prinsipnya tidak boleh ada Lembaga
lain yang boleh mencabut atau menghalangi hak politik seseorang kecual kedua
hal tersebut diatas. Sementara dalam undang-undang nomr 12 tahun 2011 Tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, berlaku asas bahwa
Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dengan kata lain Bawaslu berpendirian dengan norma hukum yang
berlaku, KPU bukanlah lembaga yang berwenang untuk menghalangi hak politik
seseorang dalam konteks pemilihan umum.
Hal ini dikatakan oleh Komisoner Bawaslu RI Rahmad Bagja di Kompleks Parlemen,
Senayan, Jakarta, Senin (3/9/2018). Ditulis dan di publis (KOMPAS.com/KRISTIAN
ERDIANTO) “ Peraturan KPU Nomor 20
Tahun 2018 tentang Pencalonan dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilu“.
NILAI MORAL DAN HAK POLITIK.
Mempunyai wakil atau
pemimpin yang baik adalah harapan setiap warga negara, hal ini sangatlah lumrah
jika calon wakil rakyat atau kepala
daerah merupakan putra terbaik bangsa. Sudah sangat diapahami dengan pendapat umunya
jika calon yang diusung itu dari kalangan orang baik, tidak cacat moral, hukum, diharapkan akan
berkinerja yang baik memikirkan rakyat yang diwakili. Oleh sebab itu tidak
salah jika sebagian besar warga negara atau rakyat mendorong agar orang-orang
yang cacat dimata publik ( Koruptor/pelaku pelecehan seksual) sebaiknya tidak
diberi hak atau dilarang mencalonkan diri dalam kontestasi politik yaitu pemilu
atau pemilihan.
Pelaku korupsi atau
pelaku kejahan seksual yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan berkekuatan
hukum tetap, adalah orang telah melanggar norma yang berlaku dimasyarakat.
Setidaknya pelaku tersebut telah melanggar norma hukum, norma agama, dan norma susila bagi pelaku kejahatan
seksual. Sebab secara hukum formil prilaku korupsi adalah termasuk kejahatan extra
ordinary crime atau kejahatan yang luar biasa yang menjadi musuh negara.
Begitu juga pelaku kejahatan seksual yang secara nyata melanggar norma hukum,
Norma agama dan norma Susila. Sebab tidak ada agama yang berlaku di Indonesia
yang membenarkan ketiga kejahatan
tersebut.
Jika dibuat perbandingan
dalam sebuah pertanyaan, haruskah pembelaan terhadap hak asasi seseorang lebih
utama dari pada hak kolektive warga negara untuk mendapatkan hal yang “baik”
dalam hal ini wakil rakyat atau pemimpin dalam pemerintahan. Hak kolektive
warga negara yang dimaksud adalah hak asasi yang melekat kepada semua warga
negara termasuk hak politik, hak untuk memperbaiki taraf hidup, hak memperoleh
perlakuan yang baik dari negara.KLIK DISNI
Menurut
Jeremy Bentham dalam Teori utilitarianisme, tujuan hukum adalah memberikan
kemanfaatan dan kebahagiaan terbesar kepada sebanyak-banyaknya warga
masyarakat. Konsep dasarnya adalah menempatkan kemanfaatan sebagai tujuan utama
hukum. Tolok ukurnya adalah kebahagian yang sebesar-besarnya bagi
sebanyak-banyaknya orang. Penilaian baik-buruk, adil atau tidaknya hukum ini
sangat tergantung apakah hukum mampu memberikan kebahagian kepada manusia atau
tidak. Kemanfaatan diartikan sama sebagai kebahagiaan (happiness).
Membandingkan
nilai moral dan hak asasi dengan kepentingan politik memang sangat sulit, akan
tetapi jika merujuk pada asas kepantasan kepentingan yang lebih besar yaitu
perbaikan kualitas perwakilan dalam pemerintahan demokrasi. Perlindungan hak
politik seseorang memang penting untuk dilindungi, tetapi pembentuk
undang-undang juga harus bersikap adil dalam merumuskan regulasi politik untuk
melindungi mayoritas hak politik warga negara.
Seseorang eks
tindak pidana korupsi dapat dikatakan telah memiliki cacat dimata publik, karena
perbuatan telah banyak merugikan negara dan merugikan mayarakat. Hak atas
perbaikan kualitas hidup masyarakat terhalangi oleh pelaku korupsi, karena uang
yang seharusnya untuk pembangunan kesejahteraan, digunakan untuk kepentingan
pribadi atau golonganya.
Koruptor
telah merampas hak asasi mayoritas warga negara, hak atas perbaikan hidup, hak
atas perbaikan pendidikan, kesehatan atau hak hidup lainnya. Dengan demikian
alasan ini cukup untuk membuat argumentasi hukum, jika pelaku korupsi sudah
layak dipersempit hak politiknya dalam kontestasi politik lima tahunan, baik di
pemilu maupun di pemilihan. Seruan moral saja tidak efektif untuk tidak memilih
politisi eks koruptor dalam pemilu atau pemilihan, harus ada regulasi yang
memberikan larangan dengan tegas bagi eks koruptor tidak boleh dicalonkan oleh
partai politik baik dalam pemilu legislative maupun di pilkada.
Negara
wajib hadir untuk melindungi hak asasi mayoritas warga negara, dengan membuat
regulasi yang komitmen terhadap hak-hak kolektive warga negara.
Penjelasan
diatas memberikan gambaran yang tegas terkait persoalan – persoalan hambatan
regulasi untuk menjebatati antara hak asasi dengan nilai moral dalam konteks
hak politik. Disatu sisi masyarakat ingin memperoleh hak akan hidup yang layak
atau perbaikan kualitas hidup yang diyakini jika pembuat kebijakan berasal dari
orang yang baik.
Simpulan
tulisan ini adalah pada pertanyaan, lebih utama manakah antara perlindungan HAM
individu ( caleg Eks Koruptor) dengan mengedepankan nilai moral (melarang eks
Koruptor) dalam kontestasi politik ?
Penulis : Alim Mustofa
Jabatan
: Bawaslu Kota Malang
Email : alimmustofa09@yahoo.co.id
HP : 085 233 110 753