Pemilihan
Gubernur/ Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati, Walikota/ Wakil Wali Kota yang
disebut sebaga Pemilihan Kepala Daerah dipilih secara demokratis, sebagaimana
tertuang dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Terkait Kalimat “dipilih secara demokratis”
memiliki dua makna. Makna (1) bahwa kepala
daerah dipilih melalui perwakilan di
lembaga legislatif, (2) kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Selanjutnya, pembentuk undang undang yakni Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia dan Presiden, sepakat memaknai kalimat “dipilih secara demokratis”
yaitu dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Pemilihan Kepala Daerah
langsung ( Pemilukada) adalah urusan penyelenggaran pemerintah daerah, yang
diatur dalam Undang Undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. serta diperkuat
dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara Pemilihan Umum,
yanng menggolongkan pemilihan kepala
daerah masuk rezim pemilihan umum yang selanjutnya diperkuat dengan lahirnya
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemda, namun saat ini kedua
undang-undang tersebut sudah tidak berlaku lagi. Pemilukada bagian dari pemilu memiliki
konsekuensi bahwa : 1) Penyelengaraan
pemilukada, sebagaimana pemilu lainya berada dalam satu rezim penyelenggara
pemilu, yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/Kota yang bersifat hirerarkis. 2) Terkait perselisihan hasil pilkada yang
berdasarkan Pasal 236C Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008 dialihkan wewenang
mengadilinya dari Mahkamah Agung (MA) ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasar
Pasal 22 E ayat (2) UUD NRI Tahun
1945
tentang pemilihan umum,
menyatakan bahwa pemilihan umum diselenggarakan untuk memililh anggota DPR,
DPD, Presiden beserta Wakil Presiden, dan DPRD. Dalam hal ini tidak menyebutkan
secara eksplisit terkait pemilihan kepala daerah, maka keluarlah Keluarlah
putusan MK No. 97/PUU-XI/2013, yang menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah
bukan bagian dari pemilu sehingga
penyebutanya berubah menjadi Pilkada. Konsekuensinya bahwa penyelesaian perselisihan pemilihan kepala
daerah bukan menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Berdasar gambaran diatas bahwa Secara konstitusi
pemilihan kepala daerah bukan bagian dari pemilu, mengingat bahwa pengaturan
tentang pilkada diatur pada
Bab yang terpisah
yaitu pada Bab
VI Pemerintahan Daerah
Pasal 18 ayat (4)
UUD 1945. Artinya, konstitusi
tidak memasukkan pilkada
dalam bab yang mengatur
tentang pemilu tetapi secara
realitas (pelaksanaan) selama ini yang terjadi dimasyarakat bahwa
penyelenggaran pemilihan kepala daerah
masih sama dengan pemilu. secara realita
(pelaksanaan) selama ini bahwa pemilihan kepala daerah masih merupakan bagian
dari pemilu. hal ini bisa dilihat dari: 1) penyelenggaraan pemilihan kepala daerah yaitu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) hal ini sama dengan penyelenggaraan pemilu (merujuk
pada Pasal 22 E UUD NRI Tahun 1945). 2) terkait penyelesaian perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah diselesaikan di Mahkamah Konstitusi (sama halnya dengan
pemilu). sejatinya kewenangan menyelesaikan perselisihan hasil pilkada bukan
menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi(Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945). Karena secara konstitusi kewenangan Mahkamah
Konstitusi mengadili pada tingkat
pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk (a)Menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945; (b) Memutus
sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya
diberikan oleh undang-undang dasar; (c) Memutus pembubaran partai politik, dan (4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilu.
Menurut A. Mukthie Fadjar dalam bukunya yang
berjudul pemilu perselisihan hasil pemilu dan demokrasi, bahwa konsekuensi jika penyelenggaraan pilkada langsung
tidak dikategorikan sebagai
pemilu, sebagai berikut: 1. Penyelenggaranya dapat dilakukan KPUD
seperti ketentuan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 atau oleh sebuah panitia ad
hoc yang dibentuk oleh pemda
dan sebagai pengendali/supervisor Depdagri/desk pilkada).
2. Pesertanya seperti
ketentuan Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2004. 3. Pengawas
pilkada dibentuk oleh
DPRD seperti Undang-UndangNomor 32 Tahun 2004.Apabila terjadi
sengketa penetapan hasil
pilkada, penyelesaiannya oleh Mahkamah
Agung (MA) seperti
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. 4. Sengketa
dalam daftar calon
pilkada oleh KPUD/Panitia
ad hoc pilkada menjadi kompetensi
PTUN. 5. Impeachment terhadap kepala dan atau wakil kepala daerah
diajukan oleh DPRD kepada
Mahkamah Agung (MA)
(seperti UndangUndang Nomor 32
Tahun 2004).
Inilah wajah ketidakutuhan pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Ketidakutuhan ini tentunya akan berdampak
pada beberapa hal terkait penyelesaian persoalan pilkada (sengketa, pelanggaran
maupun perselisihan). Tidak berhenti disitu saja, terkait lembaga yang
berwenang menyelesaikan persoalan pilkada tidak hanya satu lembaga (Bawaslu,
MA,PTTUN,MK serta Pengadilan Umum) menjadikan proses penyelesaian yang lama
mengingat bahwa setiap lembaga memilliki sistem tupoksi terkait penyelesaian
persoalan pilkada yang berbeda beda. Ditambah lagi amanat membentuk Badan Peradilan Khusus Pilkada
sebagai lembaga untuk menyelesaiakan persoalan pilkada yang sampai saat ini
keberadaanya belum juga terwujud (Undang Undang No.10 Tahun 2016 tentang
Pilkada). Tentunya ini akan menimbulkan persoalan yang kompleks yang
mengakibatkan penegakan hukum di bidang
pilkada sulit tercapai. Khususnya bagi para pencari keadilan. Mengingat
bahwa pelaksanaan pemilihan kepala daerah
dilaksanakan secara serentak di Indonesia.
Publikasi : Alimmustofa.com