alimmustofa.com - Bahwa penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota pada tahun 2020 adalah merupakan penyelenggaraan pemilihan secara serentak pada kurun ketiga setelah penyelenggaraan pemilihan secara serentak yang dilaksanakan pada tahun 2015, tahun 2017 dan tahun 2018.
Pada tahun 2020 ini
penyelenggaraan pemilihan didasarkan pada ketentuan Pasal 201 UU 10/2016 yang
dinyatakan : “pemungutan suara serentak Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan
Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota hasil pemilihan tahun 2015
dilaksanakan pada bulan September 2020.
Terkait dengan
regulasi penyelenggaraan pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota tetap
menggunakan Undang-Undang sebagai berikut :
-
UU 1/2015 Tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014
Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
-
UU 8/2015 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
-
UU 10/2016
Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Dengan melihat masa
tugas DPR yang akan berakhir masa jabatannya di bulan Oktober 2019 ini, dan
dilantiknya anggota DPR yang baru, maka sangat tidak memungkinkan adanya
perubahan peraturan perundang-undangan tersebut diatas terkait dengan
penyelenggaraan pemilihan. Situasi dan kondisi anggota DPR yang mendekati
berakhirnya masa tugasnya sangat tidak memungkinkan adanya perubahan ketiga
undang-undang di atas yang dilakukan oleh lembaga legislatif.
Sehingga dengan
demikian regulasi yang akan di dijadikan dasar penyelenggaraan pemilihan masih
tetap menggunakan ketiga undang-undang di atas (UU 1/2015, UU 8/2015 dan UU 10/2016),
baik bagi Pemerintah, KPU, Bawaslu, DKPP dan DPR dengan tupoksi (tugas pokok
dan fungsi) masing-masing.
Terkait dengan
regulasi yang akan digunakan sebagai dasar hukum penyelenggaraan pemilihan,
terdapat beberapa persoalan kelembagaan pengawas pemilihan. Saat ini
kelembagaan di tingkat Kabupaten/Kota sudah menjadi lembaga yang tetap
(permanen) dengan masa tugas 5 (lima) tahun dan bukan lagi sebagai lembaga ad hoc (sementara).
Nah, status lembaga
pengawas pemilihan akan menjadi persoalan ketika lembaga pengawas di tingkat
Kabupaten/Kota sudah menjadi lembaga tetap atau Bawaslu Kabupaten/Kota.
Sehingga ada beberapa masalah terkait dengan Bawaslu Kabupaten/Kota yang akan
menyelenggarakan pemilihan di wilayah kabupaten/kota, antara lain :
-
Apakah Bawaslu
Kabupaten/Kota tidak memiliki kewenangan dalam penyelenggaraan pemilihan di
kabupaten/kota.
-
Bagaimana
solusinya terkait dengan status kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Perlu dipahami
bersama bahwa pemiihan dengan pemilihan umum adalah 2 (dua) hal yang berbeda.
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota adalah merupakah ranah pemerintahan,
sedangkan pemilihan umum adalah merupakan rezim pemilu untuk memilih legislatif
dan Presiden-Wakil Presiden.
Maka undang-undang yang mengatur terkait dengan
mekanisme penyelenggaraan pergantiannya diatur oleh undang-undang tersendiri,
yaitu UU 7/2017 Tentang Pemilhan Umum, sedangkan untuk penyelenggaraan
pemilihan diatur dalam UU 10/2016 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan
Walikota Menjadi Undang-Undang.
Sedangkan Bawaslu di
semua tingkatan dapat menyelenggarakan pemilu dan pemilihan sepanjang diatur
secara tegas dalam undang-undang. Di dalam UU 10/2016 telah mengatur lembaga
pengawas yang bertugas melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan, yaitu :
-
Bawaslu
-
Bawaslu Provinsi
-
Panitia Pengawas
Pemilihan Kabupaten/Kota
Terkait dengan
kelembagaan di tingkat kabupaten/kota di dalam UU 10/2016 masih menggunakan
Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, padahal sekarang ini tidak ada
Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota, karena sudah menjadi Bawaslu
Kabupaten/Kota.
Apakah perubahan status menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota tidak
dapat melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan di tingkat kabupaten/kota.
Apakah tidak dapat dilakukan dengan pemberian kewenangan atribusi kepada
Bawaslu Kabupaten/Kota.
Pertanyaan-pertanyaan
yang timbul tersebut harus mendapatkan jawaban dalam kualifikasi dapat
menyelesaikan masalah tersebut dalam kerangka hukum.
Badan Pengawas
Pemilu Kabupaten/Kota adalah merupakan badan yang melakukan tugas pengawasan
penyelenggaraan pemilu dan bukan penyelenggaraan lain, kecuali “ditentukan”
oleh undang-undang. Terkait “ditentukan” tersebut harus dimaknai bentuknya
seperti apa, apakah cukup dengan atribusi kewenangan yang diberikan melalui
Peraturan Bawaslu misalnya, ataukah perubahan undang-undang, ataukah seperti
apa.
Jika kewenangan atribusi Bawaslu Kabupaten/Kota melakukan pengawasan
penyelenggaraan pemilihan diberikan oleh Peraturan Bawaslu, menurut penulis,
tidak berdasar pada hokum, karena pembentukan Panitia Pengawas Pemilihan atau
Panwas Kabupaten/Kota berdasarkan undang-undang berikut tugas dan kewenangannya,
sehingga jika tugas dan kewenangan atribusi untuk menyelenggarakan pengawasan
untuk pemilihan diberikan oleh Peraturan Bawaslu sangat tidak tepat.
Bagaimana jika untuk
memastikan status kelembagaan itu ditentukan oleh undang-undang ? mekanisme
perubahan kelembagaan Panwas menjadi Bawaslu Kabupaten/Kota ditentukan oleh
undang-undang adalah sudah tepat, tetapi apakah DPR mampu untuk melakukan
perubahan UU 10/2016 dalam waktu dekat, karena akhir tahun 2019 sudah dimulai
tahapan penyelenggaraan pemilihan, padahal keanggotaan DPR akan segera
berakhir.
Maka sesuatu yang tidak memungkinkan untuk merubah kelembagaan Panwas
Kabupaten/Kota sebagaimana UU 10/2016 sebagai dasar penyelenggaraan pemilihan,
dengan undang-undang. Jika demikian, apa langkah yang haru dilakukan untuk
status kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota mendapat legitimasi hokum untuk
melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan. Dan jika persoalan tersebut
tidak segara ada langkah hokum nyata, maka akan menjadi persoalan di kemudian
hari, karena ini terkait dengan status kelembagaan pengawas pemilu.
Bawaslu RI sebagai
penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pemilu dan pemilihan, maka sangat
harus berperan aktif untuk melakukan langkah hokum untuk memastikan status
kelembagaan perangkat di bawah tidak menjadi persoalan di kemudian hari.
Penyelenggaraan pemilihan telah dilaksanakan, namun persoalan status
kelembagaan Bawaslu Kabupaten/Kota yang telah dibentuk tidak memiliki
kewenangan untuk melakukan tugas-tugas kepengawasan, karena yang berwenang
adalah Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota. Namun sampai saat ini,
Bawaslu RI belum melakukan langkah hokum konkrit untuk memastikan status
kelembagaan perangkatnya di bawah.
Ada satu lagi upaya
yang seharusnya dapat ditempuh oleh Bawaslu Ri adalah melakukan Judicial Review
kepada Mahkamah Konstitusi terhadap ketentuan Pasal 1 angka 17, Pasal 23 ayat
(2) dan ayat (3), Pasal 24, Pasal 32, Pasal 34 huruf c, 134 (1), (5) dan (6),
135 ayat (2), Psal 139, Pasal 140, Pasal
141, Pasal 143 UU 1/2015 jo Pasal 30,
Pasal 144, Pasal 146 ayat (1), Pasal 152 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 154 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 193B ayat (2) UU 10/2016.
Bagaimana jika pengajuan
tidak dilakukan oleh Bawaslu RI, namun diajukan oleh Bawaslu Provinsi atau
Bawaslu Kabupaten/Kota. Jika mendasarkan pada struktur kelembagaan adalah
Bawaslu RI, karena Bawaslu RI adalah struktur organisasi pengawas pemilu yang
berada di pusat dan memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan dan kebijakan
terkait dengan kelembagaan pengawas pemilu di tingkat bawah.
Karena pengajuan
Judicial Review ini untuk menentukan kedudukan hokum (legal standing), apakah
yang akan mengajukan Judicial Review kepada Mahkamah Konstitusi tersebut
memiliki legal standing atau tidak,
jika tidak, maka akan ditolak oleh Mahkamah Kosntisui.
Oleh karenanya, lembaga
yang paling punya kepentingan hokum atau pihak yang sangat berkaitan secara
langsung dengan pokok pengajuan Judicial Review, akan lebih tepat untuk
mengajukan Judicial Review. Bawaslu
RI sebagai penanggung jawab kelembagaan organisasi pengawas pemilu, maka
Bawaslu RI yang memiliki legal standing untuk mengajukan Judicial Review kepada
Mahkamah Kosntitus berkaitan dengan status Bawaslu Kabupaten/Kota untuk
melakukan pengawasan penyelenggaraan pemilihan di wilayahnya masing-masing,
karena di UU 10/2016 lembaga pengawasnya disebut sebagai Panitia Pengawas
Kabupaten/Kota dan bukan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Di Jawa Timur ada 19
(Sembilan) Kabupaten/Kota yang akan menyelenggarakan pemilihan bupati dan
walikota serentak tahun 2020. Maka semoga persoalan status lembaga pengawas
telah ada kejelasan sebelum tahapannya dimulai.
Saat ini 19
(sembilan belas) kabupaten/kota di Jawa Timur akan menyelenggarakan pemilihan,
maka Pemerintah Kabupaten/Kota akan menyiapkan anggaran, dan setiap lembaga
baik KPU maupun Lembaga Pengawas akan mengajukan anggaran kepada Pemerintah
Kabupaten/Kota.
Pertanyaannya adalah : apakah Bawaslu Kabupaten/Kota berwenang
untuk mengajukan anggaran pengawasan untuk penyelenggaraan pemilihan ? Secara
hukum yang berhak mengajukan adalah Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota
berdasarkan UU 10/2016.
Panitia Pengawas Kabupaten/Kota saat ini sudah berubah
menjadi Bawaslu, sehingga tidak mungkin dibentuk Panitia Pengawas Pemilihan di
Kabupaten/Kota, karena telah terbentuk Bawaslu Kabupaten/Kota.
Maka dengan
demikian jika mendasarkan pada UU 10/2016 terkait dengan pendanaan, maka
Bawaslu Provinsi Jawa Timur yang seharusnya mengajukan pendanaan atau anggaran
untuk pengawasan kepada Pemerintah Kabupaten/Kota di 19 (sembilan belas)
Kabupaten/Kota.
Maka tidak boleh hanya menyederhanakan masalah, oleh karena
sudah terdapat Bawaslu Kabupaten/Kota, maka Bawaslu Kabupaten/Kota yang
mengajukan anggarannya kepada Pemerintah Daerah. Secara prosedur tidak sesuai dengan
kewenangannya, karena yang berwenang adalah Panitia Pengawas Pemilihan
Kabupaten/Kota dan bukan Bawaslu Kabupaten/Kota.
Semoga segera ada solusi agar
penyelenggaraan pemilihan tidak dipenuhi dengan masalah-masalah yang bersifat
administratif, banyak hal yang harus dikerjakan dalam mewujudkan
penyelenggaraan pemilihan yang luber dan judil serta beradab. Semoga.
Oleh : SRI SUGENG
PUJIATMIKO, S.H.