Oleh: Alim Mustofa
Pendahuluan
Sejarah perkembangan administrasi
Jika kita pahami PIMIKIRAN CONFUCIUS (Plato, Aristoteles, Marchiavelli, Montesquieu, Rousseu, Bonnin, Hegel, Vivien,Mil ) yang telah mengenal administrasi publik dimana salah satu prinsip yang disampaikan pelayanan publik harus memiliki moralitas yang baik ( Pihak yang memerintah harus memberi contoh yang baik pada pihak yang diperintah). Sejalan dengan pemikiran tersebut sudang barang kali administrasi/birokrasi haruslah menempatkan diri sebagai fungsi pelayanan kepada public ( masyarakat ). Tentunnya kita akan bertanya masyarakat yang mana, yang harus dilayani. Menurut pendapat Karl-Mark dalam kritiknya terhadap teori Hegel tentang klasifikasi masyarakat dikelompokan menjadi tiga : yaitu kelompok kepentingan khusus (particular interest) yang dalam hal ini dimaksud adalah kelompok pengusaha dan profesi, kemudian kelompok kepentingan umum (general interest) yang diwakili oleh negara dan kelompok ketiga adalah kelompok birokrasi. (Miftah Thoha: 1993).
Administrasi yang berfungsi sebagai pelayan Public bisa dikatakan sifatnnya pasif, artinya hanya menunggu kebijakan dari hasil proses politik (kekuasaan), jauh dari kepentingan kelompok tertentu (interest group), bersikap netral artinya berada ditengah-tengah komponen kekuatan yan ada.
Pemikiran Politik
Sebelum kita membahas bagaimana proses politik selalu mewarnai hampir semua proses administrasi di suatu system pemerintahan, tentu kita harus tahu apa itu politik. Secara etimologis, politik berasal dari bahasa Yunani ”polis” yang berarti kota yang berstatus negara. Secara umum istilah politik dapat diartikan berbagai macam kegiatan dalam suatu negara yang menyangkut proses menentukan tujuan-tujuan dari sistem itu dan melaksanakan tujuan-tujuan itu.
Menurut Miriam Budiardjo dalam buku ”Dasar-dasar Ilmu Politik”, ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari tentang perpolitikan. Politik diartikan sebagai usaha-usaha untuk mencapai kehidupan yang baik. Orang Yunani seperti Plato dan Aristoteles menyebutnya sebagai en dam onia atau the good life(kehidupan yang baik).
Menurut Goodin dalam buku “A New Handbook of Political Science”, politik dapat diartikan sebagai penggunaan kekuasaan social secara paksa. Jadi, ilmu politik dapat diartikan sebagai sifat dan sumber paksaan itu serta cara menggunakan kekuasaan social dengan paksaan tersebut.
Menyimak pendapat diatas, politik bisa dipahami sebagai alat untuk merebut kekuasaan, kemudian mengelola kekuasaan dan bagaimana mempertahankan kekuasaan tersebut secara langgeng. Pada tiga tahapan tersebut tentunya memerlukan pengelolaan (kekuasaan) yang mendukung tercapainya target-target yang disesuai dengan visi yang dibangun. Kegiatan Negara dalam konteks pengelolahan dimaksud diatas adalah tentunya adalah perumusan –perumusan tujuan Negara sebagai respon terhadap keinginan mayoritas masyarakat (dalam konteks Negara demokrasi) melalui proses politik (input – with input –output). Artinya proses politik adalah proses dalam perumusan atau pembuatan kebijakan yang melalui instrument – instrument legitimasi politik.
Pemikiran : Frank J Goodnow dan Leonard D White dalam bukunya Politics and Administration menyatakan dua fungsi pokok dari pemerintah yang berbeda:
1) Fungsi politik yang melahirkan kebijaksanaan atau keinginan negara,
2) Fungsi Administrasi yang berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan negara.
Penekanan pada Paradigma ini terletak pada Locusnya, menurut Goodnow Locusnya berpusat pada ( government Bureucracy ) birokrasi Pemerintahan. Sedangkan Focusnya yaitu metode atau kajian apa yang akan dibahas dalam Administrasi Publik kurang dibahas secara jelas.
Jika menelaah pemikiran diatas tentunya kita sangat sulit memisahkan poltik dengan administrasi, yang mana keduanya saling berkaitan satu sama lain. Sebab keduanya hadir bersamaan dengan fungsi yang berbeda sehingga pada perjalannya akan saling mempengaruhi.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik sebuah rumusan masalah sebagai berikut:
1. Sejauh mana netralitas birokrasi terhadap intervensi politik?
2. Bagaimana Principle Agent Theory dapat terimplementasi dengan baik dengan besarnya intervensi politik terhadap Adminitrasi /birokrasi?
C. Pengertian Teori Keagenan
Teori ini menjelaskan hubungan prinsipal dan agen ini salah satunya berakar pada teori ekonomi, teori keputusan, sosiologi, dan teori organisasi. Teori prinsipal-agen menganalisis susunan kontraktual di antara dua atau lebih individu, kelompok, atau organisasi. Salah satu pihak (principal) membuat suatu kontrak, baik secara implisit maupun eksplisit, dengan pihak lain (agent) dengan harapan bahwa agen akan bertindak/melakukan pekerjaan seperti yang dinginkan oleh prinsipal (dalam hal ini terjadi pendelegasian wewenang). Lupia & McCubbins (2000) menyatakan pendelegasian terjadi ketika seseorang atau satu kelompok orang (prinsipal) memilih orang atau kelompok lain (agent) untuk bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal. Menurut Ross (1973) contoh-contoh hubungan prinsipal-agen sangat universal.
Hubungan prinsipal-agen terjadi apabila tindakan yang dilakukan seseorang memiliki dampak pada orang lain atau ketika seseorang sangat tergantung pada tindakan orang lain (Stiglitz, 1987 dan Pratt & Zeckhauser, 1985 dalam Gilardi, 2001). Pengaruh atau ketergantungan ini diwujudkan dalam kesepakatan-kesepakatan dalam struktur institusional pada berbagai tingkatan, seperti norma perilaku dan konsep kontrak.
Menurut Lane (2003a) teori keagenan dapat diterapkan dalam organisasi publik. Ia menyatakan bahwa negara demokrasi modern didasarkan pada serangkaian hubungan prinsipal-agen (Lane, 2000:12-13). Hal senada dikemukakan oleh Moe (1984) yang menjelaskan konsep ekonomika organisasi sektor publik dengan menggunakan teori keagenan. Bergman & Lane (1990) menyatakan bahwa rerangka hubungan prinsipal agen merupakan suatu pendekatan yang sangat penting untuk menganalisis komitmen-komitmen kebijakan publik. Pembuatan dan penerapan kebijakan publik berkaitan dengan masalah-masalah kontraktual, yakni informasi yang tidak simetris (asymmetric information), moral hazard, dan adverse selection.
Dalam bentuk yang paling sederhana, teori keagenan mengasumsikan bahwa kehidupan sosial adalah serangkaian kontrak. Konvensional, satu anggota, pembeli `'barang atau jasa yang ditunjuk individu atau lembaga,' dan yang lainnya, yang menyediakan barang atau jasa adalah agent'-maka istilah `` teori keagenan. " Hubungan principal-agent diatur oleh kontrak menentukan apa yang harus dilakukan agen dan apa pokok yang harus lakukan sebagai balasannya. (1986, 224)
Dikotomi pemikiran antara politik dan administrasi dalam teory agent
Konsep lain tentang birokrasi adalah dari Wilson (1887) dan Goodnow (1901); keduanya berpendapat bahwa perlunya memisahkan secara tegas antara fungsi administrasi dengan fungsi politik yang arahnya adalah menjaga agar masing-masing bertugas dan berfungsi sebagaimana mestinya. Administrasi sebagai lembaga implementasi kebijakan (policy implementation), sedang politik sebagai lembaga pembuat kebijakan (Policy Makers), (Muhajir Darwin;1995),
Sebagai lembaga pelaksana kebijakan politik, birokrasi menurut Wilson dalam kaitan dengan ke-netralannya berada di luar bagian politik. Sehingga permasalahan administrasi/birokrasi hanya terkait dengan persoalan bisnis dan harus terlepas dari segala urusan politik (the hurry and strife of politics).(Miftah Thoha; 1993).
Konsep dasar yang diletakkan oleh Wilson ini kemudian diikuti oleh para sarjana ilmu politik lainnya seperti ; D.White (1926), Willoughby dan juga Frank Goodnow. Goodnow sendiri mengatakan bahwa ada dua fungsi pokok pemerintah yang amat berbeda satu sama lain, yaitu politik dan adiministrasi. Politik menurut Goodnow harus membuat dan merumuskan kebijakan-kebijakan, sementara administrasi berhubungan dengan pelaksanaan kebijakan. (Miftah Thoha; 1993)
Teory agent yang menekankan pada perikatan standart kerja melaui kontrak kerja, agak susah diterapkan bila mana tidak didukung oleh regulasi yang bagus. Mengingat keinginan/respon politik tidak stabil/ selalu berubah-ubah, sehingga akan mempengaruhi kinerja birokrasi, mengingat disistem pemerintahan kita administrasi adalah pelaksana kebijakan. Disisi lain politik mempunyai fungsi control yang kuat terhadap birokrasi, tidak saja dalam pelaksanaan program. Dengan alasan demikian melaksanakan fungsi control dapat dijadikan alasan untuk mengintervensi pelaksanaan kebijakan. Intervensi yang dimaksud tidak didasarkan pada komitmen pra kontrak (kontrak kerja) tetapi lebih menekankan pada kepentingan jangka pendek policy. Sehingga model kontrak yang mungkin diadopsi dalam Policy adalah semacam kontrak social pada pplicy dengan konstituen ketika akan malakukan suatu.
Politik dan administrasi di Indonesia ( Birokrasi di Indonesia)
Pemikiran Karl Mark yang menyatakan bahwa birokrasi/administrasi sebaiknya memposisikan dirinya sebagai kelompok social tertentu yang dapat menjadi insturmen dari kelompok yang dominant/penguasa. Sebab kalau hanya sebatas penengah diantara Negara yang mewakili kelompok kepentingan umum dengan kelompok kepentingan khusus yang diwakili oleh pengusaha dan profesi, maka birokrasi tidak akan berarti apa-apa. Dengan konsep seperti ini berarti Mark menginginkan birokrasi harus memihak kepada kelompok tertentu yang berkuasa.
Masa depan dan kepentingan birokrasi menurut konsepsi Marxis pada tingkat tertentu menjalin hubungan yang sangat erat dengan kelas dominan dalam suatu negara. Di sinilah netral atau tidaknya suatu birokrasi sudah ramai di bahas. (Miftah Thoha; 1993).
Sedangkan Hegel dengan konsep tiga kelompok dalam masyarakat di atas menginginkan birokrasi harus berposisi di tengah sebagai perantara antara kelompok kepentingan umum yang dalam hal ini diwakili negara dengan kelompok pengusaha dan profesi sebagai kelompok kepentingan khusus. Jadi dalam hal ini birokrasi, menurut Hegel harus netral.
Agaknya perjalanan birokrasi di Indonesia tidak lepas dari sejarah berdirinya Negara ini, yang mana semacam ada kesepakatan bahwa birokrasi adalah sarana politik yang baik dalam rangka mempersatukan bangsa. Pada awal kemerdekaan semangat birokrasi kita masih netral yaitu dalam rangka menjaga stabilitas nasional dalam mengawal proklamasi kemerdekaan.Pendapat ini cukup beralasan mengingat birokrasilah satu-satunya alat yang mampu menjangkau rakyat sampai ke desa, birokrasi mulai dihinggapi oleh aspirasi primodial yang kuat. Sebuah perikatan yang erat dalam satu wadah/ korps untuk mempertahankan sebuah kesamaan. Sehingga birokrasi menjadi sebuah kekuatan social yang pada akhirnya mampu berdapatasi dengan kekuatan politik yang ada.
Namun periodesasi ini tidak berlangsung lama, ketika orde baru melihat bahwa birokrasi adalah merupakan kekuatan yang solid untuk mempertahan kekuasaan. Sehingga partai –partai berkuasa mulai melirik jabatan kementrian dipemerintah, warna birokrasi selalu di pengaruhi oleh hubungan timbal balik yang sarat kepentingan transaksional. Sebuah pola kehidupan birokrasi yang patronikasi, Pola rekruitmen pegawai selalu bernuansa jaksonisme, Penentuan jabatan birokrasi selalu mempertimbangkan surat sakti (katabelece) atau lebih jelas lagi pola pengisian jabatan struktural tidak lagi mempertimbangkan aspek profesionalitas tetapi lebih mengedepankan hubungan kedekatan atau imbal jasa.
Mungkin inilah awal kekuatan politik (di Indonesia) mulai memanfaatkan birokrasi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan yang paling efektif. Karena birokrasi memiliki soliditas yang cukup terjaga dan cenderung saling melindungi (protect interest). Hal ini sangat kental sekali dirasakan pada masa orde baru, penerapan asas monoloyalitas pada zaman soeharto birokrasi pada kekuasaan golkar mengakibatkan, hamper tidak jelas batas antara jabatan structural birokrasi/admisnitrasi dengan jabatan politik. Karena seorang kepala dinas bisa jadi adalah pengurus partai berkuasa, atau penentuan jabatan camat bisa dibawah kendali partai penguasa dengan menempatkan orang-orangnya menduduki jabatan strategis. Tidak heran jika pada masa orde baru walikota, bupati atau gubernur selalu du duduki oleh militer.
Periodesasi pasca reformasi
Pola militeristik dan politisasi birokrasi pada masa soeharto mendapat kritik tajam dari berbagai element masyarakat, pada masa puncaknya terjadilah saat reformasi. Kritik tajam pada poltisasi birokrasi pada zaman orde baru berakibat munculnya nepotisme, kolusi dan berdampak pada timbulnya korupsi tersistematis. Birokrasi sudah tidak berada penyediaan pelayanan public yang baik, birokrasi tidak lagi berfungsi sebagai pelaksana kebijakan. Pola hubungan kong kali kong antara politisi dengan seorang birokrat/ administrator mencapai titik paling nadir.
Agaknya budaya demikian tidak ikut hilang bersama tumbangnya rezim orde baru, bahkan kini lebih parah menggejala disemua unsur administrasi pemerintahan paling bawah. Pola hubungan yang telah terbangun selama tiga puluh dua tahun, menyebabkan terciptanya simbiosis mutualisme yang saling menguntung kedua belah pihak.
Kondisi demikian akan berdampak prosses politik dalam pembuatan regulasi, penyusunan peraturan tidak lagi mengedepankan semangat menata system pemerintahan yang lebih baik dalam rangka Goodgovernance, tetapi lebih menyandarkan pada kepentingan kelompok penguasa. Produk undang-undang yang dilahirkan pada akhirnya tidak lagi mengatur pola cek and balace pada hubungan kerja antara legislative dengan executive. Tidak ada control yang jelas antara pelaksana kebijakan dengan pembuat kebijakan, keduanya saling mengunci pada kepentingan masing-masing.
Sebagai contoh adalah undang-undang nomor 3 tahun 2002 tantang Pertahanan Negara. Di dalam pasal 17 ayat (1) Undang-undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara disebutkan “Presiden mengangkat dan memberhentikan Panglima setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”. Demikian juga dalam pasal 13 ayat (2) Undang-undang No 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia disebutkan “Panglima sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat dan diberhentikan oleh Presiden setelah mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat”
Dalam kedua Undang-undang tersebut dikatakan dengan tegas bahwa untuk pengangkatan dan pemberhentian seorang Panglima TNI Presiden harus mendapat persetujuan dari DPR. Dalam pelaksanaan nya saat ini, untuk melakukan penggantian Panglima TNI sesuai pasal 13 UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI, Presiden mengajukan nama satu calon Panglima TNI kepada DPR untuk di setujui DPR.
Dalam undang –undang ini mencampur adukan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan leegislatif. Panglima TNI adalah kekuasaan eksekutif, seharusnya dalam pengangkatan dan pemberhentian seorang panglima TNI tidak harus mendapatkan persetujuan DPR. Begitu juga dalam penentuan jabatan lainnya ( kementrian, Gubernur BI ) yang merupakan kekuasaan eksekutif seharusnya juga tidak lagi meminta persetujuan legislative. Bagaimana ketika seseorang untuk menduduki jabatan structural administrastif, ketika regulasi mengaharuskan eksekutif harsu mendapatka perstujuan Dewan perwakilan Rakyat (legislative). Tentu hal ini akan memunculkan lobi-lobi politik agar calon tersebut mendapatkan). Tentu hal ini akan memunculkan lobi-lobi politik agar calon tersebut mendapatkan persetujuan, dengan beberapa kompromi-kompromi atau deal-deal tertentu. Bisa ditangkap bahwa orang yang disetujui untuk menduduki jabatan public tersebut adalah orang yang diterima oleh DPR, dengan mengesampingkan beberapa prasyarat / aspek (profesionalisme, akuntabilitas).
Kondisi demikian bisa menyebabkan tekanan politik dari DPR kepada pejabat dinas public (kementrian, kepala dinas, deputi, panglima TNI, Polri) karena factor senang/tidak senang, kepentingan kekuatan politik tertentu menyebabkan lengsernya atau dicopotnya jabatan tersebut. Mungkin dalam hal ini yang paling upto date adalah desakan resufle kabinet sebagai respon ketidakpuasan atas kinerja ( bukan alasan sesungguhnya) tetapi lebih bernuansa perimbangan politik.
Hegemoni politik terhadap sikap netralitas jabatan public/dinas public, telah meruntuhkan harapan oleh Frank J Goodnow dan Leonard D White yang memisahkan fungsi politik dengan fungsi adminitrasi. Implikasi dari keberpihakan birokrasi kepada kekuatan politik tertentu mengakibatkan dampak pada virus yang menggerogotinya pelayanan publik yang tidak sehat; pelayanan yang tidak proposional dan tidak profesional, subyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan berakibatnya timbulnya perasaan kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik.
Pola rekruitmen orang untuk mengisi jabatan tidak murni melalui proses yang sesuai dengan aturan di BAPERJAKAT di masing – masing instansi, tetapi factor kedekatan pada seseorang pada pimpinan karena factor balas jasa atau karena motivasi lainnya. Sebagiamana teory agent dalam menerpakan standarisasi perekrutan pegawai melalui seleksi yang cukup ketat, mengutamakan aspek profesionalitas.
Penutup
Review dari pembahasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa betapa sulitnya administrasi terbebas dari pengaruh politik dalam sistem ketatanegaraan, keduanya berhimpitan dengan batas yang sangat tipis. Memiliki fungsi yang berbeda tetapi saling keterkaitan, yang keduanya tidak bisa melepaskan satu sama lain. Birokrasi sebagai pelaksana kebijakan sudah barang tentu akan mendekat pada pembuat kebijakan yaitu kekuatan politik berpengaruh/penguasa ( Karl Mark : mengingikan birokrasi memihak kepada kelompok penguasa ). Sementara birokrasi sebagai pelayan publik agar dapat melaksanakan pelayanan terhadap masyarakat dan pengabdian kepada negara / pemerintah agar lebih fungsional maka birokrasi harus bersikap netral. Birokrasi harus berada ditengah-tengah para pihak atau dengan kata lain birokrasi tidak boleh condong atau berpihak pada kekuatan politik dominan (penguasa).
Birokrasi harus kembali memfungsikan dirinya sebagai pelaksana kebijakan tanpa harus terikat oleh belenggu politik atau kekuatan tertentu. Tetapi upaya peningkatan dalam pemberian layanan publik yang mengedepankan profesionalitas, menghargai pentinganya sebuah tugas yang menjadi tanggung jawabnya adalah bukan sebuah keniscayaan, tetapi sesuatu yang harus dikedepankan.
Principal agent theory belum bisa dilaksanakan secara bebas nilai mengingat : belum adanya regulasi yang mengatur bagai mana jabatan birokrasi dapat diisi orang yang profesional sesuai bidang yang dibutuhkan. Peraturan kepegawaian di indonesia masih mensyaratkan hal –hal yang bersifat administratif formalistik, jauh dari asas profesional job atau the right man teh right place.
Administrasi / birokrasi harus lepas dari nilai-nilai politik, dengan alasan apapun meskipun hari ini akan sulit. Sebagai harapan kedepan diperlukan perbaikan regulasi yang menjamin tercapainya sistem pemerintahan yang lebih baik dalam rangka goodgovernance.
Referensi :
Abdul Halim dan Syukriy Abdullah HUBUNGAN DAN MASALAH KEAGENAN DI PEMERINTAH DAERAH: journal Peluang Penelitian Anggaran dan Akuntansi)
Luc Leruth and Elisabeth Paul , A Principal-Agent Theory Approach to Public Expenditure Management Systems in Developing Countries
Richard W. Waterman , Kenneth J. Meier ; Principal-agent models: an expansion.
Robert Bricker ; On Applying Agency Theory in Historical Accounting Research,Department of Accountancy Case IVestern Reserve University.
Politics, Principal–Agent Problems, And Public Service Otivation,Sean Gailmarduniversity Of California Berkeley
James Cohen ,November 2009, Application of Principal-Agent Theory to Security Sector Reform