AlimMustofa.com - Sejumlah calon anggota legislatif yang menggunakan cara relatif bersih dalam berkampanye, ternyata harus berguguran kalah dalam meraih simpati pemilih dalam pemilu legislatif 9 April lalu. Hal ini diungkapkan Dra. Hikmah Bafakih (38), anggota DPRD Kabupaten Malang dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang juga alumna Sekolah Demokrasi angkatan pertama, saat ditemui Selasa, 28 April lalu.
Singosari adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang kental dengan nuansa Islam. Ini tampak sekali ketika memasuki Jalan Tumapel Gang 4. Jalan selebar tiga meter dengan aspal yang rusak menyambut kedatangan saya, menuju rumah Ema -begitu Hikmah Bafakih biasa disapa- yang berada di Gang Keramat 70 A. Siswa-siswi sebuah Madrasah Ibtida'yah berseragam hijau putih dipadu jilbab warna putih berjalan bergerombol menyusuri ruas jalan Tumapel. Rupanya mereka sudah waktunya pulang, melihat waktu telah menunjukan pukul 12.45 siang.
Lima menit berselang, saya tiba di sebuah rumah dengan pintu gerbang yang terbuat dari besi. Kontruksi rumah itu cukup mewah, sekurangnya menurut ukuran saya. Pintu setinggi lebih kurang dua meter itu pun saya ketuk. Remaja laki-laki berumur sekitar 21 tahun mempersilahkan saya memasuki ruangan tamu dengan desain naturalis itu. Setelah sekitar lima menit saya duduk disebuah bangku berukiran antik, seorang perempuan berbusana muslim menyapa saya dengan ramah. Maklum, kami memang sudah saling mengenal sebelumnya.
Ema mengaku cukup kecewa dengan hasil perolehan suara yang tidak cukup untuk meraih satu kursi di dewan dalam pemilu 9 April lalu. Menurutnya, mungkin ini jalan terbaik yang ditunjukan Tuhan padanya, mengingat untuk meraih satu kursi dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang ditetapkan di Daerah Pemilihan 2 (Kecamatan Lawang, Kecamatan Singosari dan Kecamatan Pakis) dibutuhkan 19 ribu suara. Padahal, tahun ini suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) anjlok. Dalam pemilu tahun 2004 di Dapil itu PKB berhasil meraih dua kursi, bahkan dengan sisa suara yang cukup besar. Untuk pemilu kali ini, PKB hanya mendapatkan satu kursi, itu pun dari sisa suara atau pembagian tahap kedua. Menurut penjelasan alumna IKIP Negeri Malang jurusan bahasa ini, kekalahan para caleg PKB -termasuk dirinya- terjadi karena adanya empat faktor. Pertama, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang membentuk Gerakan Kebangkitan Rakyat (GATARA) yang bermarkas di Singosari. Gerakan ini dibiayai untuk mengajak massa pro Gus Dur agar tidak memilih PKB.
Kedua, ada caleg dari partai besar yang juga menduduki jabatan strategis di Kabupaten Malang, yang menggerakan hampir semua lurah di Kecamatan Singosari. Ema mensinyalir, para lurah mendapat imbalan sekitar dua puluh lima juta rupiah, sedangkan camat lima puluh juta rupiah. Sementara itu, di sekitar kampung di mana Ema tinggal banyak terpampang foto sang caleg di sekitar saluran air yang tengah diperbaiki di tepi jalan.
Ketiga, basis massa yang telah ia bina selama lima tahun habis 'diserang' praktik politik uang dari tim sukses salah satu parpol dua hari menjelang pemilu. Satu yang perlu dicatat adalah, caleg DPR RI dari tokoh parpol yang sangat berpengaruh itu juga tinggal di Singosari. Sehingga persaingan di wilayah dapil dua ini cukup kompleks.
Ema menambahkan, faktor keempat yang menyebabkan kekalahannya adalah merapatnya sejumlah caleg dari Partai Hanura untuk DPR- RI dan DPRD Kabupaten Malang ke GATARA, yang pro Gus Dur. Mereka diduga punya cukup banyak uang, dan berdomisili di dapil yang sama dengan Ema. Pemilih dengan tawaran yang menggiurkan dari tim sukses tersebut langsung berpindah 'kiblat'.
Sebagai contoh, di Dusun Sumber Sari yang telah dibinanya selama lima tahun, Ema hanya mendapatkan 73 suara di dua TPS. Padahal, selama lima tahun terakhir ini Ema mengaku sudah membina warga di desa itu. Ia merintis pendirian Taman Kanak-Kanak, tempat pelatihan pertukangan dan perbengkelan berikut peralatannya, jalan, pengadaan air bersih, saluran air, pendidikan kelompok belajar, dan masih banyak lagi. Itu semua ternyata tidak menggugah masyarakat untuk memilihnya. Dari penuturan Ema, dalam pemilu 9 April lalu ia memperoleh kurang lebih tiga ribu suara. Di dapil itu, PKB mendapat sekitar tiga belas ribu suara, masih kurang dari BPP yang ditetapkan.
Luasnya wilayah Dapil dua Kabupaten Malang membawa konsekuensi tingginya biaya kampanye yang harus dikeluarkan setiap caleg. Untuk membeli alat peraga kampanye, berkomunikasi, transportasi dan sumbangan di tiap pertemuan, tidak kurang dari seratus juta rupiah telah dikeluarkan perempuan berkacamata ini. Itu pun, menurutnya, tanpa adanya praktik politik uang. Melihat hasil pemilu tempo hari, Ema menanggapi cukup bijaksana. Ia berpendapat, perilaku masyarakat yang demikian tidak sepenuhnya salah masyarakat. Ia menduga, ini terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat umumnya belum cukup memadai. Masyarakat harus dicerdaskan dan disadarkan tentang konsekuensi dalam menggunakan hak pilih. Selain itu, tugas dan fungsi dewan juga harus diinformasikan ke masyarakat secara jujur.
Menurut Ema, seharusnya praktik politik uang dalam pemilu harus dilawan, agar tidak menjadi budaya buruk untuk pendidikan demokrasi ke depan. Menurut ibu empat orang anak ini, pemilu kali ini sangat menguras stamina dan pikirannya, selain tentu saja sangat 'melelahkan' secara finansial.
Perempuan yang juga aktif di kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Malang ini berharap, di pemilu 2014 akan terpilih wakil-wakil rakyat yang capable, credible, dan qualified dengan cara fit and proper test. Hal ini, menurutnya, perlu dilakukan agar tidak sembarangan orang dengan gegabah mencalonkan diri. "Entah mengapa, caleg perempuan yang tergabung dalam Aliansi Caleg Perempuan Menolak Money Politics tidak ada yang jadi. Dan caleg alumni Sekolah Demokrasi yang menggunakan cara-cara bersih dalam berdemokrasi tidak cukup banyak menarik minat pemilih. Masyarakat kita sekarang berfikiran sangat pragmatis karena pembelajaran berdemokrasi dari politisi kita yang memang salah," ujar istri dari Andry Dewanto Ahmad, anggota KPUD Jawa Timur dan alumni Sekolah Demokrasi angkatan pertama ini. (Alim Mustofa, Malang)
Singosari adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Malang yang kental dengan nuansa Islam. Ini tampak sekali ketika memasuki Jalan Tumapel Gang 4. Jalan selebar tiga meter dengan aspal yang rusak menyambut kedatangan saya, menuju rumah Ema -begitu Hikmah Bafakih biasa disapa- yang berada di Gang Keramat 70 A. Siswa-siswi sebuah Madrasah Ibtida'yah berseragam hijau putih dipadu jilbab warna putih berjalan bergerombol menyusuri ruas jalan Tumapel. Rupanya mereka sudah waktunya pulang, melihat waktu telah menunjukan pukul 12.45 siang.
Lima menit berselang, saya tiba di sebuah rumah dengan pintu gerbang yang terbuat dari besi. Kontruksi rumah itu cukup mewah, sekurangnya menurut ukuran saya. Pintu setinggi lebih kurang dua meter itu pun saya ketuk. Remaja laki-laki berumur sekitar 21 tahun mempersilahkan saya memasuki ruangan tamu dengan desain naturalis itu. Setelah sekitar lima menit saya duduk disebuah bangku berukiran antik, seorang perempuan berbusana muslim menyapa saya dengan ramah. Maklum, kami memang sudah saling mengenal sebelumnya.
Ema mengaku cukup kecewa dengan hasil perolehan suara yang tidak cukup untuk meraih satu kursi di dewan dalam pemilu 9 April lalu. Menurutnya, mungkin ini jalan terbaik yang ditunjukan Tuhan padanya, mengingat untuk meraih satu kursi dari Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) yang ditetapkan di Daerah Pemilihan 2 (Kecamatan Lawang, Kecamatan Singosari dan Kecamatan Pakis) dibutuhkan 19 ribu suara. Padahal, tahun ini suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) anjlok. Dalam pemilu tahun 2004 di Dapil itu PKB berhasil meraih dua kursi, bahkan dengan sisa suara yang cukup besar. Untuk pemilu kali ini, PKB hanya mendapatkan satu kursi, itu pun dari sisa suara atau pembagian tahap kedua. Menurut penjelasan alumna IKIP Negeri Malang jurusan bahasa ini, kekalahan para caleg PKB -termasuk dirinya- terjadi karena adanya empat faktor. Pertama, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur yang membentuk Gerakan Kebangkitan Rakyat (GATARA) yang bermarkas di Singosari. Gerakan ini dibiayai untuk mengajak massa pro Gus Dur agar tidak memilih PKB.
Kedua, ada caleg dari partai besar yang juga menduduki jabatan strategis di Kabupaten Malang, yang menggerakan hampir semua lurah di Kecamatan Singosari. Ema mensinyalir, para lurah mendapat imbalan sekitar dua puluh lima juta rupiah, sedangkan camat lima puluh juta rupiah. Sementara itu, di sekitar kampung di mana Ema tinggal banyak terpampang foto sang caleg di sekitar saluran air yang tengah diperbaiki di tepi jalan.
Ketiga, basis massa yang telah ia bina selama lima tahun habis 'diserang' praktik politik uang dari tim sukses salah satu parpol dua hari menjelang pemilu. Satu yang perlu dicatat adalah, caleg DPR RI dari tokoh parpol yang sangat berpengaruh itu juga tinggal di Singosari. Sehingga persaingan di wilayah dapil dua ini cukup kompleks.
Ema menambahkan, faktor keempat yang menyebabkan kekalahannya adalah merapatnya sejumlah caleg dari Partai Hanura untuk DPR- RI dan DPRD Kabupaten Malang ke GATARA, yang pro Gus Dur. Mereka diduga punya cukup banyak uang, dan berdomisili di dapil yang sama dengan Ema. Pemilih dengan tawaran yang menggiurkan dari tim sukses tersebut langsung berpindah 'kiblat'.
Sebagai contoh, di Dusun Sumber Sari yang telah dibinanya selama lima tahun, Ema hanya mendapatkan 73 suara di dua TPS. Padahal, selama lima tahun terakhir ini Ema mengaku sudah membina warga di desa itu. Ia merintis pendirian Taman Kanak-Kanak, tempat pelatihan pertukangan dan perbengkelan berikut peralatannya, jalan, pengadaan air bersih, saluran air, pendidikan kelompok belajar, dan masih banyak lagi. Itu semua ternyata tidak menggugah masyarakat untuk memilihnya. Dari penuturan Ema, dalam pemilu 9 April lalu ia memperoleh kurang lebih tiga ribu suara. Di dapil itu, PKB mendapat sekitar tiga belas ribu suara, masih kurang dari BPP yang ditetapkan.
Luasnya wilayah Dapil dua Kabupaten Malang membawa konsekuensi tingginya biaya kampanye yang harus dikeluarkan setiap caleg. Untuk membeli alat peraga kampanye, berkomunikasi, transportasi dan sumbangan di tiap pertemuan, tidak kurang dari seratus juta rupiah telah dikeluarkan perempuan berkacamata ini. Itu pun, menurutnya, tanpa adanya praktik politik uang. Melihat hasil pemilu tempo hari, Ema menanggapi cukup bijaksana. Ia berpendapat, perilaku masyarakat yang demikian tidak sepenuhnya salah masyarakat. Ia menduga, ini terjadi karena tingkat kesadaran masyarakat umumnya belum cukup memadai. Masyarakat harus dicerdaskan dan disadarkan tentang konsekuensi dalam menggunakan hak pilih. Selain itu, tugas dan fungsi dewan juga harus diinformasikan ke masyarakat secara jujur.
Menurut Ema, seharusnya praktik politik uang dalam pemilu harus dilawan, agar tidak menjadi budaya buruk untuk pendidikan demokrasi ke depan. Menurut ibu empat orang anak ini, pemilu kali ini sangat menguras stamina dan pikirannya, selain tentu saja sangat 'melelahkan' secara finansial.
Perempuan yang juga aktif di kepengurusan Dewan Pimpinan Daerah Fatayat Nahdlatul Ulama (NU) Kabupaten Malang ini berharap, di pemilu 2014 akan terpilih wakil-wakil rakyat yang capable, credible, dan qualified dengan cara fit and proper test. Hal ini, menurutnya, perlu dilakukan agar tidak sembarangan orang dengan gegabah mencalonkan diri. "Entah mengapa, caleg perempuan yang tergabung dalam Aliansi Caleg Perempuan Menolak Money Politics tidak ada yang jadi. Dan caleg alumni Sekolah Demokrasi yang menggunakan cara-cara bersih dalam berdemokrasi tidak cukup banyak menarik minat pemilih. Masyarakat kita sekarang berfikiran sangat pragmatis karena pembelajaran berdemokrasi dari politisi kita yang memang salah," ujar istri dari Andry Dewanto Ahmad, anggota KPUD Jawa Timur dan alumni Sekolah Demokrasi angkatan pertama ini. (Alim Mustofa, Malang)